FAKTA
SOSIAL SASTRA SEBAGAI MODEL PENULISAN KREATIF SASTRA
(Telaah
Unsur Fakta Sosial Sastra dalam Novel “Sang Patriot”)
Novan
Cahya Dwi M. (2130710026)
Novan.cayadwi@yahoo.co.id
Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang
Abstrak
Fakta
sosial sastra merupakan fakta-fakta yang menunjukkan system produksi sastra
secara sosiologis. Untuk memahami sastra sebagai fakta sosial sastra, ada
delapan aspek yang menjadi elemen fakta sosial sastra, yaitu: (1) populasi dan
angkkatan sastra; (2) domisiili kepengarangan; (3) kehidupan ekonomi pengarang;
(4) status sosial pengarang: (5) institusi publikasi: (6) sirkuit sastra; (7)
konsumsi sastra, dan; (8) ahli sastra
Kata Kunci: Fakta Sosial Sastra,
Penulisan Kreatif, dan Sastra
A. Pendahuluan
Kreativitas
penulisan karya sastra Indonesia semakin beragam dengan berbagai pendekatan.
Semua pendekatan tersebut digunakan untuk menyampaikan kesan pengalaman dan
pengetahuan berdasarkan ideologi yang dicita-citakan. Salah satu pendekatan
yang digunakan ialah fakta sosial sastra. Irma Devita dalam novel Sang
Patriot merupakan contoh dari novel fakta sosial sastra yang berkembang
dalam penulisan novel di Indonesia.
Fakta
sosial sastra merupakan fakta-fakta yang menunjukkan system produksi sastra
secara sosiologis. Fakta sastra hanya biasa dipahami secara objektif
berdasarkan fakta sosial yang melingkupinya. Untuk memahami sastra sebagai
fakta sosial sastra, escarpit (2008) mengemukakan delapan aspek yang menjadi
elemen fakta sosial sastra, yaitu: (1) populasi dan angkkatan sastra; (2)
domisiili kepengarangan; (3) kehidupan ekonomi pengarang; (4) status sosial
pengarang: (5) institusi publikasi: (6) sirkuit sastra; (7) konsumsi sastra,
dan; (8) ahli sastra. Kedeelapan elemen tersebut adalah fakta sosial untuk
memahami sastra secara objektif.
B.
Sejarah Perkembangan Fakta Sosial Sastra
Perkembangan
teori sosial sastra di prancis pasca-Goolmann justru mengarah pada aspek
sosial-ekonomis yang lebih kompleks dan berkencenderung kuantitatif.Satra dalam
konsepsis yang umum, dianggap tidak sekedar sebagai bagian dari kenyataan
sosial, tetapi juga sebagai fakta sosial yang kompleks. Robert Escarpit (2008)
sastra Escarpit berada dalam pengaruh mendasar strukturalisme-genetik yang
dicetuskan Godmann dengan titik tumpu pada karakter kolektif sastra sebagai
proyeksi pandangan mental masyarakat; juga pandangan Vadimir Jdanov yang
menegaskan bahwa sastra terhubung secara absolut dengan kehidupan sosial,
sastra latar belakang sejarah dan kehidupan sosial pengarang; selain pengaruh
dari Ronald Barthes tentang teks sebagai ce;ah menyusupnya unsure-unsur
sosiologis dalam sastra dan Jean-Paul Sastre yang menegaskan bahwa eksistensi
sastra ada pada proses komunikasi dan keterbacaan secara sosial.
Escarpit (2008)
menegaskan posisi sastra sebagai sebuah fakta sosial yang khas.Sastra sendiri
harus menerima realitas pengaruh sosial da ekonomi dalam dirinya.Dalam
perspektif sosiologis yang dikemukakan Escarpt, sastra, mengandung dua bentuk
fakta, yaitu fakta sastra atau alat ukur faktual tentang eksistensi sastra dan
fakta sosial sastra atau fakta-fakta yang menunjukkan system produksi sastra
secara sosiologis. Dua aspek tersebut adalah bagian mendasar dari teori sisal
sastra yang dikemukakan Escarpit.
C.
Bentuk Fakta Sosial Sastra Dalam Novel
Escarpit
menghubunhkan sastra dalam dimensi yang lebih kompleks daripada yang
dikemukakan Goldmann. Fakta sastra hanya biasa dipahami secara objektif
berdasrkanfakta sosial yang melingkupinya. Untuk memahami sastra sebagai fakta
sosial sastra, escarpit (2008) mengemukakan delapan aspek yang menjadi elemen
fakta sosial sastra, yaitu:
(1) Populasi
dan Angkkatan Sastra
Populasi sastra yang dimaksud escarpit
adalah terkait dengan kepengarangan dan katalog karya sastra. Escarpit (2008)
mengajukan dua jalan untuk megetahui populasi sastra, pertama, yaitu dengan
mendata semua pengarang buku sastra yang diterbitkan (baik melalui percakapan
maupun dengan cara terbit lain); kedua,
dengan mengambil indeks buku pelajaran sejarah sastra yang dilegitimasi
secara kualitatif. Meskipun demikian, Escarpit, lebih mengutamakan pengamatan
populasi sastra berdasarkan indeks secara kritis.melalui indeks buku pelajaran
sastra, akan dapat dengan objektif diamati pertumbuhan jumlah pengarang,
terutama pada waktu penyusunan buku sastra dan proporsi pengarang yang dikutip.
(2) Domisiili
Kepengarangan
Domisili kepengarangan adalah konsep fakta sastra
berdasarkan wilayah kelahiran pengarang. Fakta sosial sastra dari pengarang
adalah dengan menempatkan pengarang kedalam masyarakatnya.inti di kemukakan
escarpit adalah bagaimana mengemukakan sebuah sifat kolektif dalam kasus
individual pengarang.escarpit menunjuk hasil pemetaan sastra prancis yang di
lakukan oleh dupuy dan ferre.pemetaan pertama menunjukan pada periode 1490-1580
para pengarang ternama perancis seperti-madurin reigner dan rebelaise muncul
dari wilayah wilayah kerajaan seperti normandia,loire,aunis,dan saintonge.dalam
periode 1580-1650 muncul pengarang seperti racan dan la beruyere,yang berasal
dari wilayah paris dan roun.pada periode 1650-1729 muncul pengarang seperti
fenelone dan D’Alembret,yang berasal dari wilayah pedesaan seperti Bretagne dan
midi.dalam periode 1720-1790 muncul pengarang seperti marmontel dan
lamrtine,yang berasal dari wilayah zona akademik tourz,Grenoble, dan kususnya
Dijon.pada periode 1790-1860 muncul pengarang seperti scribe dan jules
laforgue,yang berasal dari zona produktif yang padat penduduk, yaitu marsiele,
bordeoux ,lyon.pada perode 1860-1900 muncul pengarang seperti bares dan
saint-exsupery, yang berasal dari wilayah perkotaan dengan kualitas universitas
universitas yang baik, yaitu daerah toulose, nice, nancy, dan caen.
(3) Kehidupan
Ekonomi Pengarang
Kehidupan ekonomi pengarang adalah bagian penting
dari fakta sosal sastra yang di kemukakan oleh escarpit.Fakta sosial sastra
juga bertumpu pada masalah biaya hidup pengarang sebagai manusia. Ada dua cara
pengarang memenuhi kebutuhan hidupnya, menurut escarpit yaitu: pembiayaan
inernal dengan hak cipta dan pembiayaan external baik dari sponsor atau dari
usaha sendiri. Escarpit menyebut secara spesifik istilah”mejenat” atau sponsor
karena terkait dengan struktur sosial yang memosisikan pengarang. Mejenat adalah
semacam bantuan Negara atau lembaga pemerintah berupa tunjangan resmi. Di
prancis terdapat majenat seperti “poete laureate” untuk penyair teremuka atau
“historio grapehe du roi “ atau penulis cerita rakyat yang di angkat oleh raja
prancis. Kehidupan ekonomo pengarang juga terkait dengan status sosial
pengarang. Escarpit menggunakan bentuk asosiasi-asosiasi pemerintah dan
hukum-hukum yang berpihak pada pengarang seperti hak cipta dan royaliti.Honore
Balzac menerima kontrak dari penerbit hedzel untuk karyanya komidie humaine
sebanyak loma puluh centimes dari setiap buku yang terjual.Bahkan Balzac
menerima 30.000 frank.Situasi ekonomi pengarang di anggap sangat penting untuk
memahami fakta sosial sastra, terutama untuk mengukur posisi sosial sastrawan
sebagai sebuah profesi.
(4) status
sosial pengarang
(5) Institusi
Publikasi
Institusi publikasi adalah bagian dari
fakta sosial sastra yang di kemukakan oleh escarpit.Istilah publikasi digunakan
escarpit untuk keluar dari keterbatasan tentang sebuah penerbitan.Sastra tidak
menggunakan penerbitan sebagai satu-satunya media produksi. Radio, televise,
adovisual, atau dalam konteks kontemporer (yang belum di sebut escarpit) adalah
intered melalui blog-blog dan webisite adalah media publikasi sastra. Konsep
publikasi di kemukakan cara semantic filosofis sebagai “penyerahan” karya pada
public atau masyarakat. Publikasi sastra, dengan media
apapun adalahbagian mendasar ketika sastra tersebut berpindah dari fakta
individual menjadi fakta sosial.
(6) Sirkuit
Sastra
Fakta sosial sastra lain yang
dikemukakan oleh Escarpit adalah “sirkuit sastra”. Escarpit (2008:84)
menjustifikasi bahwa tidak ada hubungan langsung, secara kausalitas, antara
lain sebuah buku sastra dengan besarnya jumlah masyarakat, tetapi terdapat
hubungan eksistensial antara buku sastra dengan keberadaan masyarakat. Meskipun
sebuah buku sastra diterbitkan dalam masyarakat yang banyak buta huruf atau
tidak mempunyai minat baca yang baik, maka buku sastra tersebut mempunyai batas
sirkuit yang sempit.
(7) Konsumsi
Sastra
Aspek lain yang dikemukakan oleh
escarpit adalah konsumsi sastra. Konsumsi sastra, dalam bayangan escarpit
dipengaruhi oleh kehadiran masyarakat dalam proses penulisan buku sastra oleh
pengarang. Pengarang mempunyai public yang hadir dalam pikirannya. Kesenjangan
antara pengarang dan masyarakat itulah yang menjadi fakta sosial sastra.
Menurut escarpit (2008:116), suatu buku sastra dianggap fungsional secara
sosial jika dalam masyarakat yang diajak berdialog oleh pengarang tidak terjadi
kesenjangan dialogis. Buku sastra tersebut dapat meyakinkan, member
tahu,menyadarkan, menghibur,ataupun membebaskan masyarakat dari problema
kehidupannya. Untuk mencapai fungsi sosial tersebut, selain pendidikan dan
pemahaman pembaca, escarpit menunjuk factor kesamaan budaya sebagai aspek yang
fundamental. Dengan kesamaan budaya, maka ada kenyataan yang dapat diyakini
bersama dalam sebuah karya sastra. Sebagai contoh, kesenjangan dalam kesamaan
budaya pada kasus karya Shakespeare yang menggunakan hantu dan tukang sihir dalam karya-karyanya yang
sangat relevan dengan system keyakinan sosial pada masyarakat zamannya. Tetapi,
kesenjangan sosial akan terjadi antara karya Shakespeare dengan masyarakat
barat abad dua puluh, karena para intelektual barat sangat tidak percaya dengan
hantu dan eksistensi tukang sihir. Situasi serupa terjadi dengan fenomena
seksualitas yang diangkat oleh pengarang-pengarang perempuan di Indonesia era
1998-2005.
(8) Ahli
Sastra
Terakhir, escarpit menunjuk posisi ahli sastra
sebagai bagian dari fakta sosial sastra. Ahli sastra adalah sebuah bentuk
spesifikasi seseorang untuk memberikan pendedahan teks (explication de texte).
Meskipun demikian, tugas ahli sastra dan konsumen sastra sangat berbeda. Ahli
sastra adalah seseorang yang mempunyai kemampuan teoretis dalam membuat
penilaian sastra. Sementara, konsumen sastra adalah pembaca yang diarahkan oleh
selera dan ia membaca sastra berdasarkan
pengalaman seleranya, bukan untuk melakukan penilaian.penilaian sastra, sangat
terkait dengan pembawaan khas sebuah kelas atau kelompok sosial. Escarpit
(2008:135) menunjuk kasus kelompok “secondaires” di prancis memaksakan penilain
ahli sastranya pada konsumen sastra, dengan ancaman hukuman moral atau
justifikasi sebagai konsumen “selera rendah” jika membaca buku sastra yang
tidak direkomendasikan oleh ahli sastra mereka. Posisi ahli sastra sendiri,
dapat berkoeksistensi dan memotivasi konsumen untuk membaca buku
sastra,meskipun dapat juga timbul ketidaksesuaian antara keduanya. Posisi ahli
sastra ataupun kritikus sastra di Indonesia masih kurang berperan terhadap
sirkuit sastra. Beberapa kritikus sastra hanya berperan dalam lingkup akademik
yang terbatas alih-alih menjadi bagian dari sudut pandang masyarakat memahami
kualitas sebuah karya sastra.
D.
Fakta Sosial Sastra dalam Novel “Sang Patriot; Sebuah Epos Kepahlawanan” Karya:
Irma Devita.
Terlahir
sebagai anak kedua, buah cinta dari ayah seorang pedagang yang berjiwa
sederhana bernama Hasan dan Amni, ibunda berparas rupawan dan teguh
hatinya, Mochamad Sroedji (lahir,1 Februari 1915) tumbuh
menjadi anak yang cerdas, jujur dan penuh dengan
semangat serta cita-cita. Masa kecil Sroedji dilingkupi oleh suasana
keterbatasan karena penjajahan Belanda. Kemiskinan dan tekanan hidup yang
dialami oleh rakyat sekitar rumahnya mendidik Sroedji menjadi anak yang
memiliki empati besar dan semangat juang yang senantiasa berkobar. Dari sana,
ia mengutip sifat-sifat luhur kesetia kawanan dan ketabahan. Salah satunya dari
sahabat masa kecilnya Kardjo yang tewas disiksa anak-anak keturunan Belanda.
Peristwa yang memantik pertama kali amarahnya terhadap penjajahan.
Tekadnya untuk bisa bersekolah di
Hollands Indische School (HIS) sekolah yang pada masa pemerintahan Gubernur
Jendral Van Heurtz mengeluarkan kebijakan harus bercorak sifat kebelandaan
dengan bahasa pengantar Belanda dan hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari
golongan ningrat terwujudkan karena kegigihan Sroedji kecil mendesak orang
tuanya dan berkat pertolongan sang pakde Pusponegoro yang berasal dari
keturunan bangsawan Jawa. Lulus dari HIS tak membuatnya puas menimba
ilmu, Sroedji remaja ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih
tinggi di Ambactsleergang yakni
sekolah kejuruan bidang pertukangan (sekolah teknik) dan sempat membuat Hasan
sang ayah tidak setuju. Namun, dengan kelembutan Amni ibunda Sroedji, akhirnya
meski dengan berat hati Hasan mengizinkan Sroedji tetap di tanah air demi
mengejar cita-citanya saat ia dan istri serta semua saudara Sroedji berangkat
untuk melaksanakan ibadah haji ke tanah suci.
Pada tanggal 28 September 1939,
Sroedji menikah dengan Rukmini seorang wanita manis dan cerdas dari Bangkalan,
putri dari seorang guru OSVIA (sekolah calon pamong pradja) bernama Mas Tajib
Nitisasmito. Sebelum menikah, Rukmini pernah bersekolah di HIS
Sampang, ia dikenal sebagai seorang perempuan yang cerdas, memiliki semangat belajar
yang tinggi dan cita-cita menjadi seorang ahli hukum.
Wanita cendekia ini selalu mendapat nilai tertinggi di kelas,
bahkan melebihi anak-anak keturunan Belanda seangkatannya. Sayang sekali,
karena pandangan kolot masyarakat serta kondisi politik di masa itu dimana
perempuan tak memiliki banyak kesempatan untuk mendapat pendidikan sesuai
keinginan hatinya, akhirnya cita-cita Rukmini untuk dapat melanjutkan studi ke
MULO atau AMS agar dapat mendapatkan jalan menuju fakultas hukum di Universitas
Leiden untuk meraih gelar Meester in de Rechten serupa wanita idolanya Maria
Ulfa Subadio harus terhenti karena tak sanggup melawan kehendak ayahnya yang
memasukannya ke sekolah keputrian Van de Venter di Keputren Mangkunegaran.
Di sekolah keputrian itu, Rukmini
belajar ilmu hitung, ilmu bumi, sejarah, bahasa Belanda, kedisiplinan dan
norma-norma keraton. Ia juga belajar berbagai keterampilan seperti menari,
mocopat, tembang jawa, menjahit, menyulam dan merenda. Sungguh jauh dari jalur
yang semula diidamkannya. Namun belajar tentang apapun dan dimanapun akan
selalu mendatangkan manfaat besar bagi sesiapa yang menghargainya, dan Rukmini
adalah wanita yang sangat menjunjung tinggi ilmu apapun bentuknya. Kelak, ilmu
yang Rukmini dapatkan di sekolah keputrian ini banyak menolongnya di masa-masa
sulitnya. Pernikahan Sroedji dan Rukmini membuahkan empat cahaya mata, putra
putri yang semakin menambah kebahagiaan mereka. Namun ambisi orang-orang yang
jauh dan tak berhubungan sama sekali dengan keluarga bahkan bangsanya telah
mengubah keadaan mereka.
Ambisi Jepang untuk menguasai Asia
Raya perlahan tapi pasti membuat keadaan tak lagi sama. Pada tahun 1942,
tentara Nippon mendarat di bumi Indonesia dan mulai menebar bencana. Berkedok
sebagai saudara tua yang harus dihormati dan dibela, dan membantu mengusir
penjajah Belanda, tentara Jepang menjelma penjajah baru yang menista
bangsa kita. Namun keberhasilan Jepang memperlebar sayap kemenangannya di
berbagai belahan Asia tak berusia panjang. Pada akhir 1942 tentara Sekutu
berhasil menaklukan Jepang di berbagai negara jajahannya seperti Cina, Korea,
Philipina, Singapura, Birma dan sekitarnya. Untuk menghadapi ancaman musuh
Eropa dan Amerikanya, tentara Jepang membentuk berbagai organisasi kepemudaan
seperti PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), Jawa Hokokai, Gerakan Kebaktian Rakyat
Jawa, Seinendan (Barisan Militer Pemuda), Heiho (Barisan militer pemuda usia
belasan tahun) serta keibodan (kepolisian). Mereka merekrut dan
melatih pemuda-pemuda Indonesia yang akan dikirim ke garis depan
membantu pasukan Jepang yang telah kekurangan tenaga dan kewalahan menghadapi
serangan tentara Sekutu. Namun, sebagai bangsa yang pernah dijajah berabad
lamanya, dan menyadari bahwa tak memiliki kekuatan militer adalah salah satu
faktor terbesar kegagalan usaha merebut kemerdekaan mereka selama ini, maka
beberapa tokoh pejuang menerbitkan gagasan untuk memanfaatkan situasi
keterdesakan pasukan Jepang atas serangan musuh-musuhnya ini. Menjadikan
tentara Jepang, musuh kemerdekaan mereka sebagai guru militer adalah strategi
cemerlang bagi bangsa yang telah dirampas segala-galanya. Maka
seorang pejuang bernama Gatot Mangunpradja mengusulkan pembentukan tentara
sukarela Pembela Tanah Air melalui secarik surat kepada Gunseikan pada tanggal
7 September 1943.
Tak memerlukan waktu lama, usulanpun
diterima oleh petinggi tentara Jepang. Pada tanggal 3 Oktober 1943, berdasarkan
Osamu Seirei (dekrit) Nomor 44 lahirlah Pembela Tanah Air (PETA) dengan
pemusatan latihan di Bogor. Dan dua belas hari kemudian, terkumpullah 856 kadet
PETA dari berbagai daerah asalnya, berdiri dalam posisi siaga, siap menerima
pendidikan militer untuk membela tanah airnya. Adalah Mochamad Sroedji seorang
mantri kesehatan (mantri malaria) dari RS Kreongan Jember menjadi salah satu
diantara mereka. Mendapatkan do’a restu dari orang tua dan istri serta
anak-anak adalah kekuatan besar bagi Sroedji untuk mewujudkan hasrat kejuangan
yang telah tumbuh di sejak masa kecilnya. Baginya, kemerdekaan
adalah harga mati yang harus diberikan untuk anak cucu dan bangsanya jika
tak ingin selamanya diperbudak penjajahan. Di lapangan Ikada, pada 8 Desember
1943, Mochamad Sroedji dalam balutan seragam tentara PETA dilantik dengan
pangkat chuudanchoo. Sejak itu, dimulailah hari-hari penuh perjuangan dan
pengorbanan Mochamad Srodji sebagai seorang tentara nasional. Hingga menemui
syahidnya pada tanggal 8 Februari 1949, di desa Karang Kedawung dalam dekap
do’a rakyat yang dicintainya.
(1)Angkkatan Sastra
Kebanyakan seorang
sastrawan menceritakan atau menulis novel sesuai dengan perkembangan zaman,
tetapi berbeda dengan seorang penulis novel barnama Irma Devita yang menulis
sejarah sebagai bahan novelnya. Artinya dalam diri Irma devita ada perasaan
nasionalisme yang sangat besar, sehingga karya yang di tulis menganut unsur
sejarah yang membuat penikmat karya sastra tidak lupa akan asal usul
terbentuknya Negara ini. Cerita yang di tulis merupakan sebuah cerita yang
bersumber dari kisah nyata yang di ceritakan oleh kakek Irma Devita yang bernama
Letkol.Mochammad Sroedji.
(2) Domisiili Kepengarangan
Domisili
pengarang adalah salah satu factor penting dari karya yang di tulis, dengan
demikian akan jelas latar belakang penulis dan pengalaman apa yang ia miliki.
Ketika seorang pengarang berasal dari desa dan menempuh pendidikan di kota
besar, maka dalam karya yang ia tulis akan menuangkan dua perbedaan antara budaya
kota dan budaya desa.
(3) Kehidupan Ekonomi Pengarang
Kehidupan
ekonomi pengarang sangat berpengaruh, atau bergantung pada karya sastra yang ia
tulis, ketika karya yang di tulis mendapat respon positif dari penikmat sastra
atau konsumen karya sastra, maka kehidupan ekonomi pengarang akan semakin
meningkat, dengan adanya royalti dari sponsor dan hak cipta.
(4) Status Sosial Pengarang
Kehidupan
sosial pengarang juga dipengaruhi oleh ekonomi pengarang. Begitu pula kehidupan
sosial Irma Devita penulis novel Sang Patriot, yang menjadikannya dia dihormati dan di segani
karena taraf hidup yang sejahtera dan strata sosialnya meningkat.
(5) Institusi Publikasi
Institusi
publikasi di gunakan untuk mengenalkan karya sastra yang di tulis kepada
masyarakat awam melalui radio, tv, Koran, majalah, dan internet. Irma devita
yang berprofesi sebagai praktisi hukum, menggunakan institusi publikasi tv
sebagai alat pengenalan karyanya kepada masyarakat.
(6) Sirkuit Sastra
Sirkuit
sastra akan sangat berpengaruh pada kelansungan penulis dalam berkarya. Irma
devita akan sangat di untungkan, karena ia berada di Jakarta sebagai tempat domisilinya
saat ini, yang notabennya mayoritas penduduknya paham baca tulis.
(7) Konsumsi Sastra
Karya
Irma devita menyadarkan kita akan rasa nasionalisme yang mulai luntur di
kalangan pemuda, dengan bukunya ini menyadarkan kita bahwa perjuangan para
pahlawan harus kita lanjutkan dengan cara mengharumkan nama bangsa di mata
internasional. Buku Irma devita ini akan di terima oleh semua kalangan, mulai
dari rakyat jelata, sampai darah birupun akan menerimanya sebagai sebuah pesan
moral kebangsaan.
(8) Ahli Sastra
Sang
patriot, menurut Ayu Diah Pasha semangat dan cinta akan muncul setelah membaca
buku sang patriot karya Irma Devita ini.
Daftar
Pustaka
Anwar, Ahyar. 2010. Teori
Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm 239-250.
Devita,
Irma.2014. Sang Patriot. Jakarta: Inti Dinamika Publishers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar