Kamis, 26 Februari 2015

Analisa Novel dalam perspektif Genetika Sastra



GENETIKA SOSIAL SASTRA SEBAGAI FAKTA KEMANUSIAAN DALAM PENULISAN KARYA SASTRA
(Telaah Unsur Genetis Sosial Sastra dalam Novel “Rintihan dari Lembah Lebanon”)
M. Fadlulloh Ar, Lovi Adekayanti.
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang
Abstrak
Genetika sosial sastra adalah embrio dalam sebuah imajinasi untuk membuat karya. Embrio atau dasar paling bawah dalam membuat karya memerlukan sebuah aturan konkrit genetika sosial sastra. Sebagai pijakan atau landasan harus memerlukan sebuah teori, teroi dalam genetika sastra secara spesifik ada pembahasan mengenai Fakta kemanusiaan, Subjek kolektif, dan Visi dunia.
Kata Kunci: Fakta Kemanusian, Subjek Kolektif, dan Visi dunia.
A.    Pendahuluan
            Ahir abad ke-19, suatu persepektif yang berbeda dengan teori kritis dari mazhab frenkurt di Jerman juga berkembang dalam kritisme sastra di Prancis, yang mengacu pada gagasan Marxis dan positivisme. Berbagai analisis sastra bergerak dari teks, sebagai fokus yang otonom, menuju faktor-faktor yang bersifat eksentrik diluar teks. Konsep-konsep teori sosial sastra dalam persepektif marxis yaitu: (1) sastra bersifat epiphenomenon (fenomena zaman); (2) sastra adalah refleksi kehidupan pengarang pada masanya; (3) sastra adalah produk eksternal yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosial tertentu. Ketiga aspek tersebut menjadi basis analisis terhadap karya sastra. Karya sastra kemudian diangap menunjukkan “wajah” dari faktor-faktor determinan seperti ras, lingkungan, kekuatan kelas, dan biografi personal pengarang.
            Gagasan teori sastra Marxis kemudian “diserap” oleh tokoh formalis Rusia maupun tokoh pada Lingkaran Linguistik Praha (Prague Linguistic circle), terutama gagasan teori sosial sastra Marxis dikembangkan oleh Lukacs. Salah satu tokoh strukturalisme yang kemudian menggunakan terminologi kunci teori sosial sastra Marxis dalam memandang sastra adalah Lucien Goldman (1913-1970). Sebagai kritikus, Goldman, mengikuti tradisi kritik sastra Marxis dan gagasan Neo-Hegilin yang dikembangkan oleh Lukacs, menganggap sastra terkait secara genetik dengan ide-ide, nilai-nilai, dan harapan-harapan sosial.
            Goldman mengkritik sosiologi sastra Marxis, yang secara tradisional menghubungkan karya sastra sebagai tedensi kesadaran yang diperoleh pengarang dari kelompok sosialnya. Goldman memandang karya sastra justru merefleksikan kenyataan yang menimbulkan kesadaran kolektif. Ideologi kolektif, oleh Goldman, juga dianggap mempunyai hubungan koheren dengan karya sastra individual yang besar, bahkan struktur keduanya bersifat homologis. Sosiologi sastra Marxis, dalam pandangan Goldman, senantiasa meyakini bahwa kehidupan sosial akan terekspresi dalam karya sastra melalui mata rantai kesadaran kolektif yang dimiliki pengarang dan masarakatnya.
            Goldman kemudian menunjukkan persepektif berbeda  dengan mengajukan pertanyaan hipotesis tentang hubungan antara struktur ekonomi dan menifestasi sastra, yang dibuat dalam suatu masarakat, yang terjadi diluar kesadaran kolektif. Goldman mengajukan empat faktor yang berbeda yang menghubungkan karya sastra dengan struktur ekonomi di luar pengaruh kesadaran kolektif. Pertama, situasi munculnya pemikiran dari anggota masarakat kelas borjuis yang didasarkan pada perilaku ekonomi dan eksistensi pertukaran nilai. Pada kasus tersebut, kategori mediasi adalah aspek yang paling menentukan bagi terbentuknya pemikiran. Pemikiran yang terbentuk dalam konteks nilai mediasi (mediation value) kemudian diupayakan untuk menjadi sebuah nilai absolut (absolute value). Kedua,  cara bertahan dalam masarakat borjuis ditentukan oleh jumlah individu yang secara esensial mengalami situasi sosial yang problematik. Sisi problematik tersebut ditandai dengan dominasi nilai-nilai yang secara kualitatif mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka. Individu tersebut mencakupi para filusuf, artis, agamawan, termasuk pengarang atau sastrawan. Ketiga, ekspresi pengalaman individual seorang pengarang adalah bagian dari aspirasi nilai-nilai kualitatif masarakat atau kelas sosial tempat pengarang tersebut berasal. Keempat, dalam masarakat terdapat sistem nilai yang mempengaruhi perkembangan hidup individu sehingga setiap karya yang dilahirkan akan menjadi elemen penting eksistensi biografi seseorang.
            Goldman mengembangkan metode strukturalisme genetik untuk menunjukkan relasi relasi struktur sebuah teks sastra dengan visi dunia (world vision) suatu kelas sosial yang terepresentasi dalam perspektif pengarang, Goldman memaparkan dua aspek penting tentang sastra dalam konteks sosial: pertama adalah tentang sastrawan yang baik dan kedua tentang teks sastra yang baik. Sastrawan yang baik, menurut Goldman, adalah pengarang yang mampu mentransformasikan “visi dunia” kelompok sosialnya secara spesifik. Sementara teks sastra yang baik, menurut Goldman, adalah karya sastra yang bersifat tertutup dalam sebuah koridor vitalitas “visi dunia” yang koheren dengan kelas sosial yang diartikulasikan. Setiap karya sastra, bagi Goldman, diproduksi secara genetik berdasarkan visi dunia dan struktur mental historis suatu kelas sosial yang dimediasi, baik secara sadar maupun tidak sadar oleh pengarang.
B.      Fakta Kemanusiaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia
            Menurut Faruk (1994), Goldman menempatkan sastra sebagai sebuah produk historis yang dinamis, terus-menerus mengalami proses strukturasi dan destrukturasi secara sosial. Untuk menjelaskan dinamika sebuah karya sastra menjadi sebuah produk historis, Goldman memulai dengan penjelasan tentang tiga kategori penting yang posisinya berperan secara historis, yaitu: (1) fakta kemanusiaan; (2) subjek kolektif dan; (3) visi dunia. Goldman memulai dengan menyebut fakta kemanusiaan adalah segala bentuk aktifitas dan perilaku kemanusiaan baik yang bersifat politis, sosial, kultural, filosofis, dan estetis. Meskipun demikian, tidak semua fakta kemanusiaan mempunyai nilai historis. Untuk menjelaskan kualitas historis sebuah fakta kemanusiaan, Goldman, membagi dua jenis fakta kemanusiaan, yaitu fakta kemanusiaan yang bersifat individual dan fakta kemanusiaan yang bersifat sosial.
            Fakta kemanusiaan yang bersifat individual adalah fakta kemanusiaan yang muncul sebagai respon individual (subjek individual) terhadap situasi dunianya. Kecenderungan respon individual selalu timbul sebagai efek personal. fakta kemanuisaan yang yang individual adalah hasil perilaku yang bersifat libidinal semata, yang struktur maknanya hanya bersifat individual. Keputusan-keputusan yang tidak berarti secara sosial dan hanya berarti secara individual, seperti bernyanyi sendiri, luapan-luapan emosi personal, atau bermimpi, adalah sebuah fakta kemanusiaan yang bersifat individual. Tindakan dalam fakta kemanusiaan yang individual adalah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang didasarkan oleh subjektivitas dieinya sebagai individu atau “subjek individual”.
            Fakta kemanusiaan yang bersifat sosial adalah fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh seseorang (subjek) atas dasar posisinya sebagai bagian dari suatu masarakat (subjek kolektif). Tindakan subjek kolektif untuk merespon dunianya dengan cara memodifikasi dan berupaya menemukan keseimbangan sosial adalah fakta kemanusiaan yang mempunyai peran secara historis. Segala tindakan seseorang baik dalam kapasitas diri sebagai subjek kolektif dan untuk memodifikasi dunia dan menemukan keseimbangan sosial dan memiliki peranan penting dalam sejarah.
            Goldman memetakan peran fakta kemanusiaan dalam sebuah efek kongkret sebuah peristiwa sosial. Subjek yang bertindak sebagai individu tidak aakan menghasilkan atau mencapai sebuah dinamika sejarah yang memodivikasi dunaia menjadi seimbang dan harmonis. Hanya subjek kolektif saja, individu yang bertindak trans-individual dan menjangkau individu lain secara kolektif, yang dapat mena ngkap visi dunia dan menciptakan sebuah sejarah. Revolusi sejarah, perubahan struktur ekonomi, dan karya-karya sastra yang menangkap kekuatan sejarah pada suatu masarakat adalah fakta-fakta kemanusiaan yang bersifat sosial dan diciptakan, dipikirkan, dihasilkan oleh individu berdasarkan motivasi sosial (individu sebagai subjek kolektif).
            Subjek kolektif (subjek trans-individual atau  subjek secara individual melampaui dirinya sebagai individu) adalah sekempulan individu, yang masing-masing dirinya adalah subjek, yang bertindak dalam sebuah kesatuan kolektif untuk menciptakan sebuah realitas sosial. Sastrawan atau pengarang besar adalah subjek yang melampaui dirinya sebagai individu dalam berkarya. Mereka berkarya, nbukan untuk sebagai individu, tetapi sebagai bagian darikesatuan kolektif sosialyang sedang bergerak mmodifikasi realitas. Seorang sastrawan besar memosisikan dirinya sebagai bagian yang tidak terpisah dengan individu-indivu lain yang sedang melakukan aktivitas politik, revolusi sosial, dan perubahan sistem ekonomi. Maka, karya sastra sebagai sebagai sebuah fakta kemanusiaan yang bersifat sosial adalah karya yang stara dengan sekumpulan arsitektur yang sedang membangun sebuah bangunan sebuah bangunan besar. Bagi goldman, subjek-subjek kolektif ditandai dengan karakter kelas sosial yang menjadi basis tindakan sosila. Kelas sosial menunjukkan sebuah kesatuan kolektivitas dari subjek-subjek yang mempunyai karakter metal individual yang bertendensi historis.
            Karya sastra sebagai sebuah fakta kemanusiaan yang bersifat sosial sebagai hasil dari subjek kolektif pengarang terkait dengan struktur masarakat. Tetapi, hubungan antara karya sastra dan masarakat tidak bersifat determinan, melainkan melalui mediasi “visi dunia” (vision du monde dalam istilah Goldman) pengarang. Sastrawan, sebagai anggota masarakat atau anggota kelas sosial tertentu, adalah subjek kolektif yang menangkap segala gagasan, ide, harapan, sentimen, dan kesadaran sosial dalam masaraktnya atau kelompoknya. Berdasarkan kepentingan-kepentingan sosial atau kelompok sosialnya, pengarang menuliskan karya sastra untuk merespon dunia dengan cara mengungkapkan ekspresi kolektif masarakat atau kelompok masarakat yang membentuk mentalitas sosialnya.
C.     Sosiologi Novel
            Goldman mencoba menjelaskan kompleksitas struktur sastra dengan membangun perspektif tentang sosiologi novel. Goldman, dalam karyanya Towards A Sociology of The Novel (1964), secara komprehensif mengulas tentang kompleksitas struktur novel. Konsepsi Goldman tentang novel diperoleh berdasarkan hipotesis yang ia bangun dari persepektif Rene Girarad tentang dunia fiksi yang terdegradasi dan persepektif Lukacs tentang bentuk novel yang dipengaruhi oleh karakteristik tokoh yang proble,atik. Goldman lalu membangun konsepsi tentang novel sebagai sebuah cerita (story) yang didasarkan pada upaya mencari realitas yang terdegradasi (a degraded reality), yang dalam istilah Lukacs disebut’dominical” (“mengandung kejahatan”), dari nilai-nilai otentik (authentic values) dalam dunia yang juga tergradasi (the world it self degraded) dalam berbagai level “pola” yang berbeda beda (different mode)
Mengenai “nilai-nilai otentik”, yang dimaksudkan Goldman bukanlah nilai-nilai dari sebuah kritik atau nilai-nilai yang dihargai pembaca sebagai sesuatu hal yang otentik tersebut tidak termanifestasi secara eksplisit di dalam novel, tetapi terorganisasi dalam bentuk “pola” implisit sebagai dunia novel secara menyeluruh. Tetapi, bukan berarti bahwa nilai-nilai otentik bersifat spesifik pada sebuah novel yang membuat novel tersebut berbeda dengan novel yang lain. nilai-nilai otentik hanya ada dalam kesadaran imajinasi pengarang, bukan dalam tindakan social pengarang yang bersifat konkret.
Goldman menegaskan posisi novel yang merangkum dua situasi dalam bentuk dialektika-alamiah antara komunitas dari tokoh yang menjadi “pahlawan” (hero) dengan dunianya. Baik tokoh dan dunianya sama-sama berelasi dalam situasi yang terdegradasi. Tokoh dalam novel yang tersusupi dengan kejahatan (demonical) serta berkarakter gila dan “kriminal “ disebut oleh goldmen dengan istilah “karakter problematik” (problematic character). Tokoh yang problematik adalah tokoh yang terdegradasi dan kehilangan nilai-nilai otentiknya (inauthentic). Goldman merujuk tipologi novel yang dikemumkakan oleh lukacs tentang novel idealisme abstrak, psikologis, bildungsroman, dan divinisi Girard tentang novel yang mencari nilai-nilai otentik dalam dunia yang terdegradasi, sebagai sebuah gagasan fiksi yang menunjukkan “kerinduan ontologis”. Situasi terdegradasi adalah sebuah kondisi yang terkait dengan pencarian nilai otentik untuk menemukan totalitas. Situasi terdegradasi, sebagaimana dijelaskan oleh lukacs, adalah munculnya sebuah jurang antara tokoh “hero” dan dunianya yang tidak tertengahi.

D.    Genetisme Sosial Sastra dalam Novel “Rintihan dari Lembah Lebanon” (Cerita Seorang Lelaki dan Seruling Bambunya).
Karena harus menyelesaikan kuliahnya, Aziz terpaksa meninggalkan Lubna, sang kekeasih hati yang ia temui saat menjadi relawan di Lebanon. Sementara itu, sahabatnya Alif, harus meninggalkan Nyasilla, seorang gadis yang kepadanya ia mencurahkan rasa, untuk melanjutkan pendidikannya ke Lebanon.
Alif Akbar Navis namanya, seorang anak yatim piatu, yang diusir dari pesantren karena cintanya kepada Naysilla Affatur Rohmah. Dia kembali di desa tempat dia lahir. Dadapayam. Tetapi dia harus pergi ke Lebanon untuk mencari kekasih sahabatnya Aziz, yakni Lubna.
Lebanon memiliki cerita yang begitu indah teruntuk Alif, dia bertemu dengan Maria, Maria sangat mencintai Alif, tetapi Allif tetap bertahan kepada cintanya untuk Naysilla. Selama di Lebanon, Alif berjuang keras mencari nafkah untuk membiayai Naysilla masu kuliah di Kedokteran Unair Surabaya juga berjuang untuk mengembalikan rga Lubna yang ditinggal kekasihnya, sahabat Alif Sendiri yakni Aziz.
Waktupun berjalan dengan cepat, Aziz mengirimkan surat kepada Alif, bahwa dirinya hendak menikah dengan seorang gadis Indonesia. Hati Alifpun sangat bahagia, bagi dia Aziz bukanlah sahabat biasa. Aziz adalah sahabat sekaligus saudaranya, Alif pun kembali ke Indonesia untuk sahabatnya, tetapi sesungguhnya Alif pulang hanya untuk Naysilla.
Ketika Alif berada di Indonesia, ia terkejut bahwa Rahmah calon Istri Aziz adalah Naysillanya, dan ia pun hanya mampu menyumbang sebuah lagu “syair kerinduan” untuk sahabat dan kekesihnya itu.


1.      Fakta kemanusiaan, subjek Kolektif dan visi Dunia.
Dalam novel “Rintihan dari Lembah Lebanon” Karya Taufiqurrahman AL Azizy menggambarkan bahwa, kemanusiaan muncul ketika seorang Alif yang sudah yatim piatu disuir dari pesantrennya, keluarga Aziz lah yang menjadi keluarga barunya. Semua kebutuhan Alif ditanggung oleh keluarga sahabatnya, hingga ketika Aziz bercerita mengenai kekasihnya Lubna di Lebanon, Alif pun dengan lapang dada ingin membantu kekasihnya Aziz, membantu agar Lubna bisa tenang menghadapi kerinduan antara negara Lebanon dengan Indonesia.
Fakta kemanusiaan disini memiliki sebuah esensi bahwa segala bentuk aktifitas dan perilaku kemanusiaan baik yang bersifat politis, sosial, kultural, filosofis dan estetis. Fakta kemanusiaan yang paling menonjol adalah kesahajaan seorang Alif yang rela meninggalkan negara tercinta untuk menenangkan hati kekesih sahabatnya. Salah satu fakta kemanusiaan yang ada dikemukakan di dalam novel tersebut.
Subjek kolektif dalam novel tersebut bisa kita analisa ketika Alif mencari seorang Lubna di tanah Lebanon. Lubna yang keluarganya sudah meninggal dikarenakan rudal-rudal dari Israel, dia hidup sendirian. Dan ketika Aziz datang sebagai relawan kemanusiaan untuk membantu warga Lebanon. Cinta mereka tumbuh, tetapi harus dipisah dengan dua negara ketika Aziz pulang ke Indonesia. Cerminan ketiak Alif melebihi seorang peran indiviu, yang mana Alif mau meninggalkan negara Indonesia untuk mencari seorang Lubna, dan melanjutkan pendidikannya di Lebanon dan bekerja demi seorang Nyasilla agar bisa menempuh pendidikan kedokteran di Surabaya. Antara tiga misi kehidupan di Lebanon yang dia perankan, sungguh melebihi dari peran seorang yang biasa.
Visi dunia (Vision dulu monde), Taufiqrrahman Al Azizy sebagai pengarang novel tersebut, mensinergikan antara kekuatan cinta dengan kenyataan hidup, keberagaman seni dan budaya masarakat. Digambarkan dalam novel tersebut bahwa penulis mensinergikan antara nilai-nilai cinta islami yang dipegang oleh tokoh dengan kenyataan bahwa kehidupan seorang yatim piatu harus terus dan menuai kesuksesan. Tidak hanya dengan menghayal dan berangan-angan. Keberagaman seni digambarkan dengan Alif seorang pemusik seruling yang sangat menghayati kehidupan melalui seni musik juga penulis mampu menggambarkan keragaman budaya mulai dari budaya pedesaan, budaya pesantren hingga budaya luar negeri yakni negara Lebanon.
2.      Sosiologi Novel
Dalam perspektif Goldmann, menegaskan bahwa posisi novel yang merangkum dua situasi yang dalam bentuk dialektika-alamiah antara komunitas dari tokoh yang menjadi “pahlawan”. Jikalau melihat pemeran utama antara Alif, Aziz, Naysilla dan Lubna, penulis dengan indah memberikan sebuah dialog secara almiah untuk menggambarkan sebuah permasalahan. Mulai dari pengenalan sebuah dialog konflik ketika Alif menambatkan hati kepada Naysilla ketika di pesantren, pengorbanan Alif ketika orang tua Naysilla meninggal. Juga dialog alamiah ketika seorang Aziz harus meninggalkan Lubna untuk kembali ke Indonesia, dan kedua insan tersebut sibuk dengan rindu yang teramat dan berdialog dengan cinta masing-masing didalam hatinya. Hingga klimaks dari novel ini adalah ketika dialog batin antara Alif dengan Naysilla pada waktu Naysilla diatas pelaminan dengan Aziz, bukan dengan Alif.
3.      Metode Dialektika: Strukturalisme Genetik
Dalam karyanya, The Epistemology Of Socology (1981), Goldmann membangun konsep teorotik tentang hubungan sastra dan pengarang. Menurut Goldmann, karya sastra adalah ekspresi dari pandangan dunia pengarang secara imajiner, sehingga dalam karya sastra terkandung pandangan dunia pengarang yang dapat ditemukan melalui tokoh-tokoh, objek-objek,dan relasi-relasi antar tokoh dan objek yang berlangsung secara imajiner. Seorang Taufiqurrahman Al Aziziy Memandang bahwa cinta tidak hanya sebatas suka kemudian menikah. Melainkan cinta adalah korelasi antara nilai kehidupan untuk membangun sebuah kualitas hidup yang barokah. Barokah disini memiliki sebuah cerita yang memiliki ahir tanpa sama dengan kehendak pelaku. Melainkan Allah yang menentukan, dikarenakan Allah lebih tahu keterbaikan buat hambanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar