GENETIKA SOSIAL SASTRA SEBAGAI FAKTA KEMANUSIAAN DALAM PENULISAN
KARYA SASTRA
(Telaah Unsur Genetis Sosial Sastra dalam Novel “Rintihan dari
Lembah Lebanon”)
M. Fadlulloh Ar, Lovi Adekayanti.
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Islam Malang
Abstrak
Genetika
sosial sastra adalah embrio dalam sebuah imajinasi untuk membuat karya. Embrio
atau dasar paling bawah dalam membuat karya memerlukan sebuah aturan konkrit
genetika sosial sastra. Sebagai pijakan atau landasan harus memerlukan sebuah
teori, teroi dalam genetika sastra secara spesifik ada pembahasan mengenai
Fakta kemanusiaan, Subjek kolektif, dan Visi dunia.
Kata
Kunci: Fakta Kemanusian, Subjek Kolektif,
dan Visi dunia.
A.
Pendahuluan
Ahir abad ke-19, suatu persepektif
yang berbeda dengan teori kritis dari mazhab frenkurt di Jerman juga berkembang
dalam kritisme sastra di Prancis, yang mengacu pada gagasan Marxis dan
positivisme. Berbagai analisis sastra bergerak dari teks, sebagai fokus yang
otonom, menuju faktor-faktor yang bersifat eksentrik diluar teks. Konsep-konsep
teori sosial sastra dalam persepektif marxis yaitu: (1) sastra bersifat epiphenomenon
(fenomena zaman); (2) sastra adalah refleksi kehidupan pengarang pada
masanya; (3) sastra adalah produk eksternal yang dipengaruhi oleh latar
belakang sejarah dan sosial tertentu. Ketiga aspek tersebut menjadi basis
analisis terhadap karya sastra. Karya sastra kemudian diangap menunjukkan
“wajah” dari faktor-faktor determinan seperti ras, lingkungan, kekuatan kelas,
dan biografi personal pengarang.
Gagasan teori sastra Marxis kemudian “diserap” oleh tokoh
formalis Rusia maupun tokoh pada Lingkaran Linguistik Praha (Prague
Linguistic circle), terutama gagasan teori sosial sastra Marxis dikembangkan
oleh Lukacs. Salah satu tokoh strukturalisme yang kemudian menggunakan
terminologi kunci teori sosial sastra Marxis dalam memandang sastra adalah
Lucien Goldman (1913-1970). Sebagai kritikus, Goldman, mengikuti tradisi kritik
sastra Marxis dan gagasan Neo-Hegilin yang dikembangkan oleh Lukacs, menganggap
sastra terkait secara genetik dengan ide-ide, nilai-nilai, dan harapan-harapan
sosial.
Goldman mengkritik sosiologi sastra Marxis, yang secara
tradisional menghubungkan karya sastra sebagai tedensi kesadaran yang diperoleh
pengarang dari kelompok sosialnya. Goldman memandang karya sastra justru
merefleksikan kenyataan yang menimbulkan kesadaran kolektif. Ideologi kolektif,
oleh Goldman, juga dianggap mempunyai hubungan koheren dengan karya sastra
individual yang besar, bahkan struktur keduanya bersifat homologis. Sosiologi
sastra Marxis, dalam pandangan Goldman, senantiasa meyakini bahwa kehidupan
sosial akan terekspresi dalam karya sastra melalui mata rantai kesadaran
kolektif yang dimiliki pengarang dan masarakatnya.
Goldman kemudian menunjukkan
persepektif berbeda dengan mengajukan
pertanyaan hipotesis tentang hubungan antara struktur ekonomi dan menifestasi
sastra, yang dibuat dalam suatu masarakat, yang terjadi diluar kesadaran
kolektif. Goldman mengajukan empat faktor yang berbeda yang menghubungkan karya
sastra dengan struktur ekonomi di luar pengaruh kesadaran kolektif. Pertama,
situasi munculnya pemikiran dari anggota masarakat kelas borjuis yang
didasarkan pada perilaku ekonomi dan eksistensi pertukaran nilai. Pada kasus
tersebut, kategori mediasi adalah aspek yang paling menentukan bagi
terbentuknya pemikiran. Pemikiran yang terbentuk dalam konteks nilai mediasi (mediation
value) kemudian diupayakan untuk menjadi sebuah nilai absolut (absolute
value). Kedua, cara bertahan
dalam masarakat borjuis ditentukan oleh jumlah individu yang secara esensial
mengalami situasi sosial yang problematik. Sisi problematik tersebut ditandai
dengan dominasi nilai-nilai yang secara kualitatif mempengaruhi cara berpikir
dan bertindak mereka. Individu tersebut mencakupi para filusuf, artis,
agamawan, termasuk pengarang atau sastrawan. Ketiga, ekspresi pengalaman
individual seorang pengarang adalah bagian dari aspirasi nilai-nilai kualitatif
masarakat atau kelas sosial tempat pengarang tersebut berasal. Keempat, dalam
masarakat terdapat sistem nilai yang mempengaruhi perkembangan hidup individu
sehingga setiap karya yang dilahirkan akan menjadi elemen penting eksistensi
biografi seseorang.
Goldman mengembangkan metode
strukturalisme genetik untuk menunjukkan relasi relasi struktur sebuah teks
sastra dengan visi dunia (world vision) suatu kelas sosial yang
terepresentasi dalam perspektif pengarang, Goldman memaparkan dua aspek penting
tentang sastra dalam konteks sosial: pertama adalah tentang sastrawan yang baik
dan kedua tentang teks sastra yang baik. Sastrawan yang baik, menurut Goldman,
adalah pengarang yang mampu mentransformasikan “visi dunia” kelompok sosialnya
secara spesifik. Sementara teks sastra yang baik, menurut Goldman, adalah karya
sastra yang bersifat tertutup dalam sebuah koridor vitalitas “visi dunia” yang
koheren dengan kelas sosial yang diartikulasikan. Setiap karya sastra, bagi
Goldman, diproduksi secara genetik berdasarkan visi dunia dan struktur mental
historis suatu kelas sosial yang dimediasi, baik secara sadar maupun tidak
sadar oleh pengarang.
B. Fakta
Kemanusiaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia
Menurut Faruk
(1994), Goldman menempatkan sastra sebagai sebuah produk historis yang dinamis,
terus-menerus mengalami proses strukturasi dan destrukturasi secara sosial.
Untuk menjelaskan dinamika sebuah karya sastra menjadi sebuah produk historis,
Goldman memulai dengan penjelasan tentang tiga kategori penting yang posisinya
berperan secara historis, yaitu: (1) fakta kemanusiaan; (2) subjek kolektif
dan; (3) visi dunia. Goldman memulai dengan menyebut fakta kemanusiaan adalah
segala bentuk aktifitas dan perilaku kemanusiaan baik yang bersifat politis,
sosial, kultural, filosofis, dan estetis. Meskipun demikian, tidak semua fakta
kemanusiaan mempunyai nilai historis. Untuk menjelaskan kualitas historis
sebuah fakta kemanusiaan, Goldman, membagi dua jenis fakta kemanusiaan, yaitu
fakta kemanusiaan yang bersifat individual dan fakta kemanusiaan yang bersifat
sosial.
Fakta kemanusiaan yang bersifat
individual adalah fakta kemanusiaan yang muncul sebagai respon individual
(subjek individual) terhadap situasi dunianya. Kecenderungan respon individual
selalu timbul sebagai efek personal. fakta kemanuisaan yang yang individual
adalah hasil perilaku yang bersifat libidinal semata, yang struktur maknanya
hanya bersifat individual. Keputusan-keputusan yang tidak berarti secara sosial
dan hanya berarti secara individual, seperti bernyanyi sendiri, luapan-luapan
emosi personal, atau bermimpi, adalah sebuah fakta kemanusiaan yang bersifat
individual. Tindakan dalam fakta kemanusiaan yang individual adalah segala
tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang didasarkan oleh subjektivitas
dieinya sebagai individu atau “subjek individual”.
Fakta kemanusiaan yang bersifat
sosial adalah fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh seseorang (subjek) atas
dasar posisinya sebagai bagian dari suatu masarakat (subjek kolektif). Tindakan
subjek kolektif untuk merespon dunianya dengan cara memodifikasi dan berupaya
menemukan keseimbangan sosial adalah fakta kemanusiaan yang mempunyai peran
secara historis. Segala tindakan seseorang baik dalam kapasitas diri sebagai
subjek kolektif dan untuk memodifikasi dunia dan menemukan keseimbangan sosial
dan memiliki peranan penting dalam sejarah.
Goldman memetakan peran fakta
kemanusiaan dalam sebuah efek kongkret sebuah peristiwa sosial. Subjek yang
bertindak sebagai individu tidak aakan menghasilkan atau mencapai sebuah
dinamika sejarah yang memodivikasi dunaia menjadi seimbang dan harmonis. Hanya
subjek kolektif saja, individu yang bertindak trans-individual dan menjangkau
individu lain secara kolektif, yang dapat mena ngkap visi dunia dan menciptakan
sebuah sejarah. Revolusi sejarah, perubahan struktur ekonomi, dan karya-karya
sastra yang menangkap kekuatan sejarah pada suatu masarakat adalah fakta-fakta
kemanusiaan yang bersifat sosial dan diciptakan, dipikirkan, dihasilkan oleh
individu berdasarkan motivasi sosial (individu sebagai subjek kolektif).
Subjek kolektif (subjek
trans-individual atau subjek secara
individual melampaui dirinya sebagai individu) adalah sekempulan individu, yang
masing-masing dirinya adalah subjek, yang bertindak dalam sebuah kesatuan kolektif
untuk menciptakan sebuah realitas sosial. Sastrawan atau pengarang besar adalah
subjek yang melampaui dirinya sebagai individu dalam berkarya. Mereka berkarya,
nbukan untuk sebagai individu, tetapi sebagai bagian darikesatuan kolektif
sosialyang sedang bergerak mmodifikasi realitas. Seorang sastrawan besar
memosisikan dirinya sebagai bagian yang tidak terpisah dengan individu-indivu
lain yang sedang melakukan aktivitas politik, revolusi sosial, dan perubahan
sistem ekonomi. Maka, karya sastra sebagai sebagai sebuah fakta kemanusiaan
yang bersifat sosial adalah karya yang stara dengan sekumpulan arsitektur yang
sedang membangun sebuah bangunan sebuah bangunan besar. Bagi goldman,
subjek-subjek kolektif ditandai dengan karakter kelas sosial yang menjadi basis
tindakan sosila. Kelas sosial menunjukkan sebuah kesatuan kolektivitas dari
subjek-subjek yang mempunyai karakter metal individual yang bertendensi
historis.
Karya sastra sebagai sebuah fakta
kemanusiaan yang bersifat sosial sebagai hasil dari subjek kolektif pengarang
terkait dengan struktur masarakat. Tetapi, hubungan antara karya sastra dan
masarakat tidak bersifat determinan, melainkan melalui mediasi “visi dunia” (vision
du monde dalam istilah Goldman) pengarang. Sastrawan, sebagai anggota
masarakat atau anggota kelas sosial tertentu, adalah subjek kolektif yang
menangkap segala gagasan, ide, harapan, sentimen, dan kesadaran sosial dalam
masaraktnya atau kelompoknya. Berdasarkan kepentingan-kepentingan sosial atau
kelompok sosialnya, pengarang menuliskan karya sastra untuk merespon dunia
dengan cara mengungkapkan ekspresi kolektif masarakat atau kelompok masarakat
yang membentuk mentalitas sosialnya.
C. Sosiologi Novel
Goldman mencoba menjelaskan kompleksitas struktur sastra
dengan membangun perspektif tentang sosiologi novel. Goldman, dalam karyanya Towards
A Sociology of The Novel (1964), secara komprehensif mengulas tentang
kompleksitas struktur novel. Konsepsi Goldman tentang novel diperoleh
berdasarkan hipotesis yang ia bangun dari persepektif Rene Girarad tentang
dunia fiksi yang terdegradasi dan persepektif Lukacs tentang bentuk novel yang
dipengaruhi oleh karakteristik tokoh yang proble,atik. Goldman lalu membangun
konsepsi tentang novel sebagai sebuah cerita (story) yang didasarkan
pada upaya mencari realitas yang terdegradasi (a degraded reality), yang
dalam istilah Lukacs disebut’dominical” (“mengandung kejahatan”), dari
nilai-nilai otentik (authentic values) dalam dunia yang juga tergradasi
(the world it self degraded) dalam berbagai level “pola” yang berbeda
beda (different mode)
Mengenai
“nilai-nilai otentik”, yang dimaksudkan Goldman bukanlah nilai-nilai dari
sebuah kritik atau nilai-nilai yang dihargai pembaca sebagai sesuatu hal yang
otentik tersebut tidak termanifestasi secara eksplisit di dalam novel, tetapi terorganisasi
dalam bentuk “pola” implisit sebagai dunia novel secara menyeluruh. Tetapi,
bukan berarti bahwa nilai-nilai otentik bersifat spesifik pada sebuah novel
yang membuat novel tersebut berbeda dengan novel yang lain. nilai-nilai otentik
hanya ada dalam kesadaran imajinasi pengarang, bukan dalam tindakan social
pengarang yang bersifat konkret.
Goldman
menegaskan posisi novel yang merangkum dua situasi dalam bentuk
dialektika-alamiah antara komunitas dari tokoh yang menjadi “pahlawan” (hero)
dengan dunianya. Baik tokoh dan dunianya sama-sama berelasi dalam situasi yang
terdegradasi. Tokoh dalam novel yang tersusupi dengan kejahatan (demonical)
serta berkarakter gila dan “kriminal “ disebut oleh goldmen dengan istilah
“karakter problematik” (problematic character). Tokoh yang problematik
adalah tokoh yang terdegradasi dan kehilangan nilai-nilai otentiknya (inauthentic).
Goldman merujuk tipologi novel yang dikemumkakan oleh lukacs tentang novel
idealisme abstrak, psikologis, bildungsroman, dan divinisi Girard
tentang novel yang mencari nilai-nilai otentik dalam dunia yang terdegradasi,
sebagai sebuah gagasan fiksi yang menunjukkan “kerinduan ontologis”. Situasi
terdegradasi adalah sebuah kondisi yang terkait dengan pencarian nilai otentik
untuk menemukan totalitas. Situasi terdegradasi, sebagaimana dijelaskan oleh
lukacs, adalah munculnya sebuah jurang antara tokoh “hero” dan dunianya
yang tidak tertengahi.
D.
Genetisme Sosial Sastra dalam Novel “Rintihan dari Lembah Lebanon”
(Cerita Seorang Lelaki dan Seruling Bambunya).
Karena harus menyelesaikan kuliahnya, Aziz terpaksa meninggalkan
Lubna, sang kekeasih hati yang ia temui saat menjadi relawan di Lebanon.
Sementara itu, sahabatnya Alif, harus meninggalkan Nyasilla, seorang gadis yang
kepadanya ia mencurahkan rasa, untuk melanjutkan pendidikannya ke Lebanon.
Alif
Akbar Navis namanya, seorang anak yatim piatu, yang diusir dari pesantren
karena cintanya kepada Naysilla Affatur Rohmah. Dia kembali di desa tempat dia
lahir. Dadapayam. Tetapi dia harus pergi ke Lebanon untuk mencari kekasih
sahabatnya Aziz, yakni Lubna.
Lebanon
memiliki cerita yang begitu indah teruntuk Alif, dia bertemu dengan Maria,
Maria sangat mencintai Alif, tetapi Allif tetap bertahan kepada cintanya untuk
Naysilla. Selama di Lebanon, Alif berjuang keras mencari nafkah untuk membiayai
Naysilla masu kuliah di Kedokteran Unair Surabaya juga berjuang untuk
mengembalikan rga Lubna yang ditinggal kekasihnya, sahabat Alif Sendiri yakni
Aziz.
Waktupun
berjalan dengan cepat, Aziz mengirimkan surat kepada Alif, bahwa dirinya hendak
menikah dengan seorang gadis Indonesia. Hati Alifpun sangat bahagia, bagi dia
Aziz bukanlah sahabat biasa. Aziz adalah sahabat sekaligus saudaranya, Alif pun
kembali ke Indonesia untuk sahabatnya, tetapi sesungguhnya Alif pulang hanya
untuk Naysilla.
Ketika
Alif berada di Indonesia, ia terkejut bahwa Rahmah calon Istri Aziz adalah
Naysillanya, dan ia pun hanya mampu menyumbang sebuah lagu “syair kerinduan”
untuk sahabat dan kekesihnya itu.
1.
Fakta
kemanusiaan, subjek Kolektif dan visi Dunia.
Dalam
novel “Rintihan dari Lembah Lebanon” Karya Taufiqurrahman AL Azizy
menggambarkan bahwa, kemanusiaan muncul ketika seorang Alif yang sudah yatim
piatu disuir dari pesantrennya, keluarga Aziz lah yang menjadi keluarga
barunya. Semua kebutuhan Alif ditanggung oleh keluarga sahabatnya, hingga
ketika Aziz bercerita mengenai kekasihnya Lubna di Lebanon, Alif pun dengan
lapang dada ingin membantu kekasihnya Aziz, membantu agar Lubna bisa tenang
menghadapi kerinduan antara negara Lebanon dengan Indonesia.
Fakta
kemanusiaan disini memiliki sebuah esensi bahwa segala bentuk aktifitas dan
perilaku kemanusiaan baik yang bersifat politis, sosial, kultural, filosofis
dan estetis. Fakta kemanusiaan yang paling menonjol adalah kesahajaan seorang
Alif yang rela meninggalkan negara tercinta untuk menenangkan hati kekesih
sahabatnya. Salah satu fakta kemanusiaan yang ada dikemukakan di dalam novel
tersebut.
Subjek
kolektif dalam novel tersebut bisa kita analisa ketika Alif mencari seorang
Lubna di tanah Lebanon. Lubna yang keluarganya sudah meninggal dikarenakan
rudal-rudal dari Israel, dia hidup sendirian. Dan ketika Aziz datang sebagai
relawan kemanusiaan untuk membantu warga Lebanon. Cinta mereka tumbuh, tetapi
harus dipisah dengan dua negara ketika Aziz pulang ke Indonesia. Cerminan
ketiak Alif melebihi seorang peran indiviu, yang mana Alif mau meninggalkan
negara Indonesia untuk mencari seorang Lubna, dan melanjutkan pendidikannya di
Lebanon dan bekerja demi seorang Nyasilla agar bisa menempuh pendidikan
kedokteran di Surabaya. Antara tiga misi kehidupan di Lebanon yang dia
perankan, sungguh melebihi dari peran seorang yang biasa.
Visi
dunia (Vision dulu monde), Taufiqrrahman Al Azizy sebagai pengarang
novel tersebut, mensinergikan antara kekuatan cinta dengan kenyataan hidup,
keberagaman seni dan budaya masarakat. Digambarkan dalam novel tersebut bahwa
penulis mensinergikan antara nilai-nilai cinta islami yang dipegang oleh tokoh
dengan kenyataan bahwa kehidupan seorang yatim piatu harus terus dan menuai
kesuksesan. Tidak hanya dengan menghayal dan berangan-angan. Keberagaman seni
digambarkan dengan Alif seorang pemusik seruling yang sangat menghayati
kehidupan melalui seni musik juga penulis mampu menggambarkan keragaman budaya
mulai dari budaya pedesaan, budaya pesantren hingga budaya luar negeri yakni
negara Lebanon.
2.
Sosiologi
Novel
Dalam
perspektif Goldmann, menegaskan bahwa posisi novel yang merangkum dua situasi
yang dalam bentuk dialektika-alamiah antara komunitas dari tokoh yang menjadi
“pahlawan”. Jikalau melihat pemeran utama antara Alif, Aziz, Naysilla dan
Lubna, penulis dengan indah memberikan sebuah dialog secara almiah untuk
menggambarkan sebuah permasalahan. Mulai dari pengenalan sebuah dialog konflik
ketika Alif menambatkan hati kepada Naysilla ketika di pesantren, pengorbanan
Alif ketika orang tua Naysilla meninggal. Juga dialog alamiah ketika seorang
Aziz harus meninggalkan Lubna untuk kembali ke Indonesia, dan kedua insan
tersebut sibuk dengan rindu yang teramat dan berdialog dengan cinta
masing-masing didalam hatinya. Hingga klimaks dari novel ini adalah ketika
dialog batin antara Alif dengan Naysilla pada waktu Naysilla diatas pelaminan
dengan Aziz, bukan dengan Alif.
3.
Metode
Dialektika: Strukturalisme Genetik
Dalam
karyanya, The Epistemology Of Socology (1981), Goldmann membangun konsep
teorotik tentang hubungan sastra dan pengarang. Menurut Goldmann, karya sastra
adalah ekspresi dari pandangan dunia pengarang secara imajiner, sehingga dalam
karya sastra terkandung pandangan dunia pengarang yang dapat ditemukan melalui
tokoh-tokoh, objek-objek,dan relasi-relasi antar tokoh dan objek yang
berlangsung secara imajiner. Seorang Taufiqurrahman Al Aziziy Memandang bahwa
cinta tidak hanya sebatas suka kemudian menikah. Melainkan cinta adalah
korelasi antara nilai kehidupan untuk membangun sebuah kualitas hidup yang
barokah. Barokah disini memiliki sebuah cerita yang memiliki ahir tanpa sama
dengan kehendak pelaku. Melainkan Allah yang menentukan, dikarenakan Allah
lebih tahu keterbaikan buat hambanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar