Kamis, 26 Februari 2015

Filsafat Bahasa



MAKALAH
FILSAFAT BAHASA
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa
Dosen pengampu  : DR. H. Hasan Busri, M.Pd


Oleh :
M. Fadlulloh Ar Rozaq (2130710005)
Riski Auliana (2130710031)
Nur Baiti (2130710009)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MALAG
MARET 2014

Kata Pengantar
Tiada kata yang dapat kami sampaikan kecuali rasa syukur kehadirat Allah SWT hingga saat ini diberikan kesempatan untuk dapat menulis sebuah makalah ini, hanya karena rahmat yang diberikan-Nya saya dapat merangkai makalah ini hingga selesai. Apapun yang saya sajikan semoga selalu bermanfaat bagi para pembacanya.
Bahasa yang merupakan wahana pengungkapan realitas dunia manusia , direduksi hanya karena agar emmiliki kualifikasi sebagai ilmu yang bersifat empiris dan ilmiah. Kenyataan ini menjadi semakin kuat dengan berkembangnya paham strukturalsme bidang ilmu bahasa dibawah Ferdinand de Saussure, yang mencanangkan ilmu bahasa modern yang lebih menekankan pada aspek structural empiris bahasa. Dengan demikian ilmu bahasa menjadi semakin akrab dengan doktrin positivism logis yang seanantiasa menyatakan bahwa bahasa yang ilmiah adalah yang dapat diverifikasi secara positif dan empiris.
Dalam makalah kami ini, kami hanya membahas sebagian kecil dari ilmu filsafat bahasa mengenai “ Hubungan bahasa dengan epistemology dan logika”.
Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini saya sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
      Ibu Dr. Hj. Diah Werdiningsih, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah linguistik umum.
      Kedua orang tua saya yang selalu menyertai langkah kami dengan doa
      Dan kepada rekan rekan yang berkat dukungan mereka makalah ini selesai seperti yang saya harapkan
Saya  sangat menyadari, makalah saya masih banyak kekurangan baik isi materi maupun teknik penulisan, oleh sebab itu, kritik, saran dan pendapat dari pembaca sangat saya harapkan sebagai bekal pembenahan makalah saya selanjutnya.
Malang, 7  Januari 2014

Penyusun


Daftar Isi

Halaman Judul..................................................................................     
Kata Pengantar..................................................................................     
Daftar Isi ..........................................................................................     

BAB I PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang .......................................................................     
1.2     Rumusan Masalah ..................................................................    
1.3     Tujuan Masalah ......................................................................    

BAB II PEMBAHASAN
2.1       Hubungan Bahasa Dengan Epistemologil ............................
2.2       Hubungan Bahasa Dengan Logika  ......................................
BAB III PENUTUP
3.1  Simpulan ...................................................................................
3.2  Saran ..........................................................................................
Daftar pustaka ..................................................................................









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja, melainkan juga menyertai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun secara imajinatif. Oleh sebab itu bahasa selain memiliki fungsi komunikatif, juga memiliki fungsi kognitif dan emotif. Masalahnya sekarang, bagaimana kemungkinan hubungan antara bahsa dengan pikiran manusia dalam upaya manusia memahami realitas secara benar (Aminuddin,1988:36). Berpikir dalam pengertian ini adalah suatu bentuk kegiatan akal dan terarah sehingga dengan demikian tidak semua kegiatan manusia yang bersumber pada akal disebut berpikir. Seseorang yang sedang melamun tidak termasuk kegiatan berpikir. Demikian juga berpikir dapat digolongkan dalam dalam dua pengertian yaitu pertama ‘berpikir tanpa menggunakanaturan-aturan atau hukum-hukum; misalnya seseorang yang berpikir akan membeli roti untuk dimakan, pergi kepasar dengan naik mobil atau becak kedua ; berpikir dengan mempertimbangkan aturan-aturan atau hukum-hukum’ dan bentuk kegiatan ini sering diistilahkan dengan ‘bernalar’ dengan istilah lain menurutmenurut Plato dan Aristotees bahwa berpikir adalah berbicara dalam batin, mempertimbangkan,menganalisis,membuktikan sesuatu, menarik suatu kesimpulan adalah merupakan sebagian kegiatan berpikir manusia (Poespoprodjo,1984:4).

B.     Latar Belakang Masalah
a.       Bagaimanakah hubungan bahasa dengan epistemology ?
b.      Bagaimanakah hubungan bahasa dengan logika ?

C.    Tujuan Makalah
a.       Untuk mendiskripsikan hubungan bahasa dengan epistemologi
b.      Untuk mendiskripsikan hubungan bahasa dengan logika

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Bahasa Dengan Epistemologi
            Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok, secara etimologi istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani “Episteme” yang berarti pengatahuan, berdasarkan bidang pembahasannya epistemology adalah cabang filsafat yang membahas tentang pngetahuan manusia yang meliputi sumber sumber, watak dan kebenaran pengetahuan manusia. Bilamana dirinci persoalan persoalan epistemology meliputi bidang sebagai berikut :
(1)   Apakah sumber-sumber pengetahuan itu ? dari manakah pengetahuan yang benar itu dating, dan bagaimanakah kita dapat mengetahui ? hal ini semuanya merupakan problema asal pengetahuan manusia.
(2)   Apakah watak pengetahuan itu ? adakah dunia yang real di luar akal manusia, dan kalau ada dapatkah kita mengetahui ? hal ini semuanya merupakan problema penampilan terhadap realitas.
(3)   Apakh pengetahuan kita itu benar (valid) ? bagaimanakah kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan ? hal ini semua merupakan problema kebenaran pengetahuan manusia. ( Titus, 1948:20 ).
Berdasarkan analisi problema dasar epistemology tersebut maka dua masalah pokok sangat ditentukan oleh informasi bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang pengetahuannya meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori, serta problema kebenaran pengetahuan manusia. Berkaiatan dengan masalah pengetahuan apriori peranan bahasa sangat penting bahkan sangat menentukan. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan tentang sesuatu itu adalah benar demikian tanpa didasarkan pada pengalaman indra,matematika, logika danmungkin kita memiliki pengetahuan apriori yang lain. Misalnya 6 x 6 = 36, V16=4, sudut bertoalk belakang sama besarnya dan pernyataan apriori lainnya secara pasti benar. Persoalannya adalah bagaimana dapat dikatakan bahwa pernyataan-pernyataan itu benar, dan pengalaman kita tidak akan pernah menyalahkan pernyataan-pernyataan tersebut. Jawaban yang akan kita jumpai adalah bagaimana dapat dikatakan bahwa prnyataan tentang pengetahuan itu benar karena arti yang terkandung dalam artian-artian itu sendiri. kalau kita menolak atau mengimgkari kebenaran pernyataan-pernyataan itu maka berarti kita harus mengubah satu atau lebih artian terminology bahasa yang diguanakan dalam pernyatan-pernyataan pengetahuan apriori seperti ‘kali’, ‘tambah’ , ‘bagi’ ,’akar’ dan terminology bahasa lainnya yang diguanakan dalam pengetahuan apriori tersebut. Argumentasi pengetahuan apriori seperti tersebut diatas merupakan suatu perdebatan yang besar tentang pengetahuan manusia. Namun demikian bagaimanapun juga bahwa hal itu memaksa kita untuk bertanya apakah hal yang menyebabkan sesuatu artian (learn) itu mempunyai makna tertentu, dan bagaimana sesuatu pernyataan itu adalah benar (poerwowidagdo, tanpa tahun :8). Justifikasi kebenaran dalam pengetahuan apriori tersebut seluruhnya diungkapakan melalui ungkapan-ungkapan bahasa, oleh karena itu kebenaran-kebenarannya sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa.
Selain dalam pengetahuan apriori peranan penting bahsa dalam epistemology berkaiatan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemology yaitu :
(1)   Teori kebenaran koherensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
(2)   Teori kebenaran korespodensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bialamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berkorespodensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.
(3)   Teori kebenaran pragmatis yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Dengan lain perkataan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bialamana memiliki konsekuensi pragmatis bagi kehidupan praktis manusia ( suriasumantri, 1984 : 55-59)
Justifikasi kebenaran menurut teori koherensi sangat ditentukan oleh suatu pernyataan yang terdahulu yang dianggap benar. Misalnya pernyataan ‘semua orang pasti akan mati’ adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan ‘si Amir pasti akan mati’ adalah pernyataan yang benar juga. Pernyataan-pernyataan yang benar tersebut sangat tergantung pada ungkapan yang dirumuskan melalui bahasa dan ungkapan-unkapan tersbut terdiri atas pangkal-pangkal piker yang dirumuskan melalui bahasa juga, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa sangat menentukan pada system kebenaran koherensi. Kesalahan dalam merumuskan bahasa akan berakibat kesalahan dalam kebnaran pengetahuan. Bialamana dalam pernyataan diatas rumusan bahasanya menjadi ‘beberapa orang akan mati’ dianggap pengetahuan yang benar maka pernyataan kedua menjadi ‘si Amin belum tentu mati’.
Berbeda dengan peranan bahasa dalam system kebenaran koherensi, peranan bahasa dalam system kebenaran menurut teori korespodensi, suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana hal iti berkorespodensi (behubungan) dengan objek atau fajta yang diacu pernyataan tersebut. Jikalau seseorang menyatakan bahwa ‘ Ibukota Negara Republk Indonesia adalah Jakarta’ adalah benar maka pernyataan itu adalah benar karena pernyataan itu denagan objek yang bersifat factual yaitu Jakarta yang memang menjadi ibu kota Republik Indonesia. Namun sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa ‘ibukota Negara Republik Indonesia bukan Yogyakarta melainkan Jakarta’. Dalam masalah ini terdapat suatu hubungan antara ide dengan fakta (objek factual) dan hubungan tersebut dilakukan melalui bahasa, sehingga bahasa sangat menentukan formulasi kebenaran tentang fakta. Kelemahan system kebenaranteori korespodensi ini terletak pada kekurangsesuaiana antara pengalaman indra dengan fakta empiris, dan kalau demikian maka akan berakibat pada kesalahan perumusan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pengetahuan tersebut. Hal ini sebagaimna dikemukakan oleh Martin Lean yang mengemukakan bahwa kita tidak pernah mengalami objek, tetapi hanya data indrawi dan bahasa harian mengandung teoi-teori atau hipotesis yang tidak dapat dibuktikan mengenai benda-benda pengalaman. Kelemahan teori korespodensi adalah apa yang kita persepsi secara langsung adalah persis dengan apa yang dipercaya oleh anggapan umum yaitu objek yang bersifat real dan terlepas dari subjek. Lean menekankan bahwa bahasa adalah nyata seutuhnya dan tidak mungkin memuat hipotesis yang tidak dikenal atau menunjuk kepada hal yang tidak dapat diamati. Arti kata-katanya terletak dalam penggunaanya, kata dalam dirinya sendiri adalah bunyi, dan kita memberikan arti kepadanya dengan cara kita dalam menggunakannya (Lean,1963 : 16-24). Konstatasi Lean tersebut mengisaratkan kepada kita bahwa objek pengetahuan yang bersifat fisis dan real tidak dapat begitu saja terwakili melalui rumusan bahasa, sebab objek fisis menurut teori korespodensi tersebut sejauh mana dapat dibuktikan didalam persepsi indrawi karena hanya merupakan data indrawi, sehingga rumusan bahsa dalam mengungkapan kebenaran dalam hubungannya dengan objek fisis menjadi sangat menentukan (lihat Hadi, 1994 : 76). Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peranan analisis bahasa menjadi sangat penting bahkan sangat menentukan terutama dalam operasionalisasi penelitian social yang mendasarkan pada teori kebenaran korespodensi.
Peranan ungkapan-ungkapan bahasa dalam penentuan kebenaran berdasarkan teori pragmatis, berkaitan erat dengan konsekuensi fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar jikalau pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Konsekuensinya suatu pernyataan yang benar pada suatu waktu tertentu dapat menjadi tidak benar manakala pernyataan tersebut tidak memiliki konsekuensi kegunaan atau manfaat praktis bagi kehidupan manusia. Dalam masalah ini bahasa memiliki peranan mengkomunikasikan antara objek dengan kehidupan manusia secara praktis. Rumusan bahasa yang melukiskan kebenaran tentang objek pengetahuan dapat menjadi tidak benar karena tidak memiliki konsekuensi kegunaan praktis bagi kehidupan manusia tertentu. Sebaliknya suatu rumusan bahasa yang tidak mengungkapkan kebenaran objekti dapat menjadi benar karena memiliki konsekuensi kegunaan praktis bagi kehidupan manusia tertentu.
2.2 Hubungan Bahasa Dengan Logika
            Dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja, melainkan juga menyertai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun secara imajinatif. Oleh sebab itu bahasa selain memiliki fungsi komunikatif, juga memiliki fungsi kognitif dan emotif. Masalahnya sekarang, bagaimana kemungkinan hubungan antara bahsa dengan pikiran manusia dalam upaya manusia memahami realitas secara benar (Aminuddin,1988:36). Berpikir dalam pengertian ini adalah suatu bentuk kegiatan akal dan terarah sehingga dengan demikian tidak semua kegiatan manusia yang bersumber pada akal disebut berpikir. Seseorang yang sedang melamun tidak termasuk kegiatan berpikir. Demikian juga berpikir dapat digolongkan dalam dalam dua pengertian yaitu pertama ‘berpikir tanpa menggunakanaturan-aturan atau hukum-hukum; misalnya seseorang yang berpikir akan membeli roti untuk dimakan, pergi kepasar dengan naik mobil atau becak kedua ; berpikir dengan mempertimbangkan aturan-aturan atau hukum-hukum’ dan bentuk kegiatan ini sering diistilahkan dengan ‘bernalar’ dengan istilah lain menurutmenurut Plato dan Aristotees bahwa berpikir adalah berbicara dalam batin, mempertimbangkan,menganalisis,membuktikan sesuatu, menarik suatu kesimpulan adalah merupakan sebagian kegiatan berpikir manusia (Poespoprodjo,1984:4). Kegiatan bernalar dengan menggunakan hukum-hukum itulah yang disebut sebagai logika yang merupakan salah satu cabang filsafat praktis.
            Persoalan yang mendasar adalah bagaimana kegiatan bernalar manusia itu dapat dikomunikasikan kepada orang lain dan dapat mewakili kebenaran isi epala manusia. Dalam pengertian inilah maka peranan bahasa didalam logika menjadi sangat penting. Kegiatan penalaran manusia sebagaimana dijelaskan adalah kegiatan berpikir, adapun bentuk-bentuk pemikiran dari yang paling sederhana adalah sebagai berikut : pengertian atau konsep, proposisis atau penyetaraan, dan penalaran atau reasoning.
            Pengertian adalah sesuatu yang abstrak dan diwujudkan dalam bentuk symbol bahasa. Dalam pengertian ini sifat-sifat bahasa berbeda dengan sifat-sifat yang dilambangkannya yaitu pengertian.oleh karena itu kerancuan sifat-sifat bahasa dengan sifat-sifat yang dilambangkannya akan menimbulkan sesat dalam penariakan kesimpulan. Pengertian yang dilambangkan dengan kata disebut sebagai term. Berkaitan dengan kegiatan penalaran terutama dalam kaitannya dengan observasi empiric, didalam pikiran tidak hanya terbentuk pengertian akan tetapi terjadi perangkaian term-term itu. Tidak pernah ada pengertian yang berdiri sendiri dalam pikiran manusia. Rangkaian pengertian itulah yang disebut proposisi dan pengertian hanya terdapat dalam proposisi. Dalam proses pembentukan proposisi pengertian (1) disebut subjek (S) adapun pengertian (2) yang menerangkan pengertia (1) disebut predikat (P). proses pembentukan proposisi terjadi sedemikian rupa sehingga ada pengertian yang lain, atau sebaliknya ada pengertian yang menerangkan pengertian yang lain, atau sebaliknya ada pengertian yang mengingkari pengertian yang lainnya.
Misalnya pada contoh proposisi berikut ini :
“Anjing hitam itu menggonggong” proposisi itu terdiri atas pengertian “anjing hitam” (S) dan “menggonggong” (P). dalam proses pembentukan proposisi itu sekaligus terjadi pengakuan atau pengingkaran, jikalau terjadi pengakuan maka proposisi itu akan menjadi “Anjing hitam itu menggonggong”. Kata “itu” berfungsi menerangkan dan diberi tanda = maka pola proposisi itu menajdi sebagai berikut S=P. jikalau proses pembentukan proposisi itu terjadi pengingkaran maka proposisinya menjadi sebagai berikut : “Anjing hitam itu tidak menggonggong”, kalau fungsi pengingkaran itu diganti dengan tanda =. Maka pola proposisi itu menjadi sebagai berikut : S=P. berdasarkan analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa term tidak dapat ditentukan benar atau salah, adapun proposisi itu mengandung benar atau salah. Dalam kaitannya dengan bahasa yang digunakan dalam pembentukan proposisi tersebut maka kekeliruan dalam menentukan symbol term dapat berakibat sesatnya kesimpulan. Walaupun term tidak dapat ditentukan benar atau salah, namun kekurangtepatan dalam menentukan symbol (bahasa) term, maka dapat berakibat sesatnya kesimpulan. Misalnya dalam kesimpulan berikut ini :
            Amin adalah mahasiswa UGM
            Amin adalah penjual sepatu
Jadi : Amin adalah mahasiswa UGM yang menjual sepatu
Penyimpulan ini benar karena unsur term menggunakan bahasa yang benar yaitu kata Amin mengacu pada seseorang tertentu. Namun bilamana penentuan bahasa term itu tidak tepat maka akan berakibat sesatnya penyimpulan. Misalna pada contoh berikut :
            Ada seseorang yang adalah mahasiswa UGM
            Ada seseorang yang adalah penjual sepatu
Jadi : ada seseorang yang adalah mahasiswa UGM dan penjual sepatu
            Kesimpulan yang kedua ini menyesatkan karena term “ada seseorang yang” ini tidaka mngacu pada orang yang sama, sehingga kesimpulannya tidak dapat bersama-sama sebagai term yang sama. Berdasarkan hasil analisis penyimpulan penalaran tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, walaupunkeduanya secara formal bentuknya sama namun bentuk  logisnya berbeda, dan perbedaan itu dikarenakan kekurangtepatan dalam menentukan symbol bahasa pada term sebagai unsur dari proposisi. (lihat poerwowidagdo, tanpa tahun : 5). Jadi peranan bahasa dalam penentuan term sangat mempengaruhi hasil penalaran.
            Berdasarkan uraian diatas bahwa kesesatan dalam penalaran dapat diakibatkan karena bahasa dalam pembentukan term dan proposisi. Kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda-beda, dan setiap kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan arti kalimat yang bersangkutan. Maka meskipun kata-katanya sama, dalam kalimat yang berbeda dapat memiliki makna yang berbeda. Hal yang sama juga kita jumpai dalam kalimat. Sebuah kalimat dengan struktur sintaksistertentu dapat mempunyai arti lebih dari satu, dan arti kalimat juga tergantung pada konteksnya, sehingga arti kalimat yang sama dapat bervariasi dalam konteks yang berbeda.
            Ketidaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Kesesatan karena bahasa itu biasanya hilang atau berubah kalau penalaran dari satu bahasa disalin kedalam bahasa yang lain. Kalau penalaran itu diberi bentuk lambing, kesesatan itu akan hilang sama sekali. Justru lambang-lambang dalam logika diciptakan untuk menghindari ketidakpastian arti dalam bahasa. Berikut ini beberapa kesesatan karena bahasa
a.       Kesesatan karena aksen atau tekanan
Dalam ucapan tiap-tiap kata ada suku kata yang diberi tekanan , perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti, maka kurang perhatian terhadap tekanan ucapan dapat mengakibatkan perbedaan arti dan kesesatan penalaran. Contoh :
Tiap pagi pasukan mengadakan apel.
Apel itu buah
Jadi : tiap pagi pasukan mengadakan buah
b.      Kesesatan karena term ekuivok
Term ekuivok adalah yaitu term yang mempunyai lebih dari satu arti. Kalau dalam satu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Contoh :
Sifat abadi adalah sifat Tuhan
Joko adalah mahasiswa abadi
Jadi : joko adalah mahasiswa yang memiliki sifat Tuhan
c.       Kesesatan karena arti kiasan (metaphor)
Ada analogi antara arti kiasan dengan arti sebenarnya, artinya terdapat kesamaan dan juga ada perbedaannya. Kalau dalam suatu penalaran sebuah arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya, terjadilah kesesatan karena arti kiasan.
d.      Kesesatan karena amfiboli (amphibolia)
Amfiboli terjadi kalau kontruksi kalimat itu \sedemikian rupa, sehingga artinya menjadi bercabang. Contoh :
            Mahasiswa yang duduk diatas meja yang paling depan
Apa yang paling depan, mahasiswa yang mejanya ?
            Kalau dalam sebuah penalaran kalimat amfiboli itu didalam suatu premis digunakan dalam arti-arti yang satu, sedangkan dalam konklusi artinya berbeda maka terjadilah kesesatan karena amfiboli itu. Demikianlah kiranya peranan bahasa dalam pembentukan term dan proposisi sangat menentukan benar atau sesatnya suatu hasil penalaran dalam logika. (Soekadijo, 1985 : 12).





BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Pengertian adalah sesuatu yang abstrak dan diwujudkan dalam bentuk symbol bahasa. Dalam pengertian ini sifat-sifat bahasa berbeda dengan sifat-sifat yang dilambangkannya yaitu pengertian.oleh karena itu kerancuan sifat-sifat bahasa dengan sifat-sifat yang dilambangkannya akan menimbulkan sesat dalam penariakan kesimpulan. Pengertian yang dilambangkandengankata disebut sebagai term. Berkaitan dengankegiatan penalaran terutamadalam kaitannya dengan observasi empiric, didalam pikiran tidak hanya terbentuk pengertian akan tetapi terjadi perangkaian term-term itu. Tidak pernah ada pengertian yang berdiri sendiri dalam pikiran manusia. Rangkaian pengertian itulah yang disebut proposisi dan pengertian hanya terdapat dalam proposisi. Dalam proses pembentukan proposisi pengertia (1) disebut subjek (S) adapun pengertian (2) yang menerangkan pengertia (1) disebut predikat (P). proses pembentukan proposisi terjadi sedemikian rupa sehingga ada pengertian yang lain, atau sebaliknya ada pengertian yang menerangkan pengertian yang lain, atau sebaliknya ada pengertian yang mengingkari pengertian yang lainnya.
.        3.2 Saran
Tak ada gading yang tak retak, seperti inilah cerminan makalah kami. Karena usaha kami dalam menyusun makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, maka dari itu, kami memohon saran dan kritik membangun agar pada penyusunan makalah yang selanjutnya kami dapat membenahi kesalahan pada makalah kami yang selanjutnya.
            Makalah tentang aliran tradisional ini hendaknya dapat menjadi sumber belajar untuk mengadakan pengkajian aliran ini di masa mendatang.
Makalah ini masih terbatas pada pembahasan tentang sejarah, ciri-ciri, keunggulan dan kelemahan aliran tradisional, pada pengkajian selajutnya diharapkan lebih mendalam dan lebih luas.




















DAFTAR PUSTAKA
Kailan, 2002, filsafat bahasa, penerbit paradigm, yogjakarta.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar