SatPol PP
Ar Rozaq
Terdengar
suara decitan rem mobil yang keras, hentakan sepatu pelor para petugas
berlarian untuk mengejar para gepeng dan pedagang asongan maupun pedagang kaki
lima, yang menjadikan alun-alun kota sebagai sumber pendapatan mereka. Terdengar
teriakkan razia razia dari para gepeng maupun pedagang asongan, agar para
teman-teman mereka tahu jikalau razia besar-besaran petugas SatPol PP sedang
menyerbu mereka. Suasana ricuh ketika para anggota SatPol pp yang menurunkan
tiga pleton pasukan dan lima mobil truk terbuka, untuk menggelandang dan
merazia lapak dan barang dagangan mereka. Ada yang menangis dan mengamuk agar
barang-barang mereka tidak dirazia petugas SatPoll PP. seorang Bapak dengan
parangnya mengayunkan dengan bringas kepada petugas agar barang-barang
dagangannya diturunkan dari truk, tapi dengan
kepungan para petugas, kedua angan bapak tersebut ditarik kebelakang
tubuhnya kemudian diborgol agar tidak melakukan perlawanan lagi. Memang kawasan
tersebut adalah alun-alun kota yang sarat dengan keindahan. Tetapi ketika
kedatangan para gelandang dan pedagang kaki lima keindahan tersebut agak pudar
dari alun-alun yang sebagai pusat keindahan kota dan tempat berlibur murah
meriah bagi para warga kota.
Para petugas itu menyisiri
gang-gang perumahan warga, mereka tak segan untuk memburu target yang sudah
mereka hafal tampang dan gelagat maupun tempat persembunyian dipemukiman warga
sekitar alun-alun kota.
“Ayo ikut saya,” suara parau dan bentakannya mengagetkan sang ibu.
“mau dibawa kemana saya pak, ? saya tidak berbuat salah pak.” Bela nenek sambil memegang sampah yang mau dibuangnya.
“apa kamu bilang nenek reot, kamu itu sampah masyarakat yang harus
dibina” bentak dia dengan sangat keras.
Di seretnya nenek itu seperti
hewan jelata yang sedang kelaparan. Tanpa mau mendengarkan gerutuan dan alasan sang nenek, anggota SatPol PP tersebut
dengan sewenang-wenangnya menyeret ibu
kedalam bak mobil disertai cercaan dan hinaan yang mengakibatkan air mata
kepedihan keluar dari sudut mata yang keriput itu membasahi
goresan-goresan luka pipi lusuhnya.
Sudut
kelopak mata nenek itu mengalirkan sebuah air mata, ratapan wajah tuanya tak
menggemingkan hati dari anggota SatPol PP jikalau nenek itu tak pernah
berbohong diahir usianya. Dia sandarkan tubuhnya di dinding bak truk yang
mengangkutnya. Dalam usia yang sudah setengah dari perjalanan hidupnya, dia
berucap lirih yang mungkin hanya satu atau dua orang yang mendengarnya, bahwa
apakah disisa umurnya ajal akan menjemput dalam jeruji penjara.
“duhai
putraku, aku takut dalam ahir usiaku, kau tak menemukanku dalam hembusan nafas
terahirku.” Ucap lanjutnya dengan gemetar bibirnya penuh pengharapan.
Siapa
yang tidak takut ketika ajal tanpa memilki pertanda bahwa waktu pengabdian
kepada Illahi Rabbi telah selesai didunia, ketka ajal telah dekat
menjemputnya seakan malaikat pencabut nyawa sudah menyapanya dengan kekerasan
dan ekspresi wajah yang sangat menakutkan. Antara bumi dan langit tidaklah
menjadi jarak bagi sang malaikat, hanya dalam hitungan satu
detik pun malaikat mampu mengelilingi bumi delapan kali. Bukankah
tak hayal jikalau
mencabut nyawa nenek ketika
malaikat tersebut masih mencabuti nyawa dibelahan bumi bagian utara.
Nasib
nenek itu tidak sendirian, ada lima orang yang ditangkap dan dibawa dalam truk
untuk menuju rumah pembinaan para gepeng, ada bapak gendut yang tak memiliki
kaki. Ditangannya ada tongkat penyangga untuk berjalan, tadi nenek melihat
bapak itu harus digotong paksa untuk masuk kedalam truk tersebut. Ketika nenek
masuk kedalam truk, nenek melihat seorang kakek yang buta bersama cucunya. Dan
seorang ibu berkerudung yang kerudung bagian depannya diarahkan kedepan
sehingga menutupi wajahnya dan diatas kerudung itu, bertengger topi untuk
melindungi dari panas sinar matahari. Dibagian bak truk tersebut tiga orang
petugas SatPol PP berjaga-jaga agar buruan mereka tidak ada yang nekat untuk
loncat dari bak truk tersebut.
“habiskanlah sisa nyawamu dalam
rumah pembinaan nanti para sampah jalanan, kalian akan kami bina dengan sesuatu yang tak pernah kalian rasakan dari sebelum ini, dan kami masukkan kalian dalam penjara. Kalian tahu karena kalian kota tercintaku menjadi
kumuh dan kotor.” Tawa petugas SatPol PP
menggelegar seperti petir dalam rinai hujan yang lebat.
“kenapa saya ditangkap
pak ?” tangisnya mengiringi pertanyaan nenek itu.
“kau masih bertanya nenek tua, kau ini sampah masyarakat yang harus
dibina atau lebih
pantasnya dibinasakan.” Sesumbarnya ketika membentak nenek itu.
“saya bukan pemulung atau gembel
pak, saya tadi mau buang sampah pak.”dengan gemetar nenek itu menjelaskan kronologis kejadian sesungguhnya.
“apa aku buta nek, aku bisa membedakan
mana yang orang normal dengan gembel.” Timpalnya dengan nada geram.
“perlu kau tahu nek,
ribuan kali saya mengatasi
kejadian seperti ini.dan tidak satupun saya salah dalam merazia gepeng seperti nenek.” Sambil
mengibas dan menendang tangan nenek yang memeluk kakinya, untuk memelas meminta diturunkan dan dibebaskan.
Asap rokok dari mulut yang hitam legam anggota SatPol PP mengepul dalam
bak mobil yang tertutup itu, sperti barang dalam kontainer. Para lansia yang
dianggap gepeng oleh petugas itu teronggok tak berdaya dan lemas lunglai dan
kaku dalam bak tersebut.karena sedari tadi pagi mereka belum mengisi perutnya dengan
sesuatu yang bisa mengenyangkan dan yang bisa melegakan dahaga haus tenggorokan
mereka.
Tiga anggota SatPol PP yang berjaga
di bak mobil itu terus mengepul kan asap seakan mobil itu hanya tiga orang yang
menghuni. Mereka seperti
anjing penjaga rumah tuannya, dan para lansia yang dianggap gepeng itu adalah
barang berharga milik tuan yang harus dijaga oleh tiga anjing tersebut. Sesuatu
cerminan antara langit dengan bumi ketika aparatur pemerintah yang berhati
binatang yang tidak becus mengurusi tatatanan kehidupan masyarakat yang
universal.
“ayo turun ngapain kalian malah tidur tiduran, ini bukan hotel. Ayo
turun.” Bentak mereka bertiga.
Dengan berat hati para lansia tersebut turun dari bak mobil,mereka berjalan
seperti menapaki duri-duri tajam yang
siap melukai kaki yang sudah melepuh karena panas aspal jalanan
ibukota. Seakan seperti penjahat yang dihukumi hukuman mati, para sipir rumah pembinaan jijik dan muak dengan wajah wajah
para gepeng dan lansia. Mereka tidak menyadari jikalau strata ekonomi dan
pangkat tidak akan pernah menjadi jaminan bagi Allah SWT. hanya amal perbuatan
lah yang bisa menyelamatkan mereka nanti dalam hisab ahirat.
Dengan ketakutan, mereka masuk dalam
jeruji penjara penampungan. Dalam samar-samar cahaya
gelap ruangan dan bau menusuk hidung. Nenek itu bertasbih dalam kepasrahan, mungkin inilah cara Allah untuk mencintai dia. Diahir
umur nenek itu, dia
sangat di sayang Allah dengan menguji
kesabarannya. yang entah sampai kapan maut menyapanya dalam kesabaran
menghadapi ujian ini.
Suara besi tua yang sudah karatan
terbuka perlahan dan seketika itu dibanting pintu tersebut oleh sipir petugas SatPol
PP, dengan kasar dia menyeret ibu itu dan bertanya dengan gaya sok berkuasa.
“kenapa tidak mau ngaku kalau nenek
itu gepeng,lihat baju kumuhmu nek,” suara keras dia membangunkan rasa ketakutan
nenek itu.
“maaf pak, saya tadi hanya membuang
sampah, apakah saya salah
pak?” jelas nenek yang sudah
serak suara nya itu.
“nenek tua bangka yang tidak tahu diri, masih bisa berbohong kamu nek,” tangan sang sipir petugas
penjaga memukul pipi nenek tersebut .
Dengan memegangi dan membungkam bibir yang terluka karena pukulan sipir petugas, nenek itu menangis. nenek itu menangis bukan karena rasa sakit, melainkan sedih karena
kelaliman petugas SatPol PP tersebut atas
apa praduga dan sangkaan yang hanya berdasarkan nafsu penguasa semata.
“maaf pak, bapak salah tangkap. Saya punya keluarga pak” bela nenek itu.
“masih mau ini kamu nek,” bentak dia sambil mengacungkan kaki untuk mendiamkan mulut nenek tersebut biar
tidak beralasan lagi.
Dengan kerasnya sepatu dinas satpol pp tersebut menghujam kaki
nenek yang sedang bersimpuh memeluk kaki petugas tersebut. Tubuh renta itu
terhuyung kebelakang dan isak tangis nya tak terelakkan tumpah ruah dalam
kebiadaban tingkah binatang yang berjubah anggota SatPol PP.
“kalau kamu mengaku nenek
bangka, aku tidak akan menyiksamu seperti ini.” Bentak sipir itu.
Dari luar jeruji besi terdengar suara langkah kaki,
terus melangkah dan diam membisu tanpa seribu
tanda tanya. Ditengah pintu dia seperti terpukul godam malaikat maut saat tidak
bisa menjawab pertanyaan siksa kuburnya. Hatinya luluh lantah ketika melihat seorang nenek tersimpuh
kesakitan dan mulutnya berdarah. Sedangkan
di depannya ada anak buahnya yang dengan seribu pertanyaan menyudutkan nenek itu dan sekali
lagi hantaman tangan petugas itu langsung mendarat di pipi keriput nenek tersebut.
“hentikan”, bentak sesorang
yang ternyata adalah komandan dari petugas itu.
Suara emosi dan amarah yang seakan bagaikan lahar panas mau muntah
dipermukaan gunung, komandan tersebut hanya bisa meratapi
dengan tangis dan gemetar tubuhnya ketika melihat siapa wanita tua dihadapannya
tersebut.
Tubuh anggota satpol pp itu gemetar ketika mengetahui
siapa yang membentak dia. Kelakuan dia adalah sangat jauh dari prosedural tugas yang telah ditetapkan
oleh pemerintah dalam mengayomi masyarakatnya.
“ibu kenapa ada di
sini,? Kata komandan kepada nenek
tersebut sambil memeluk dan menangis karena penyesalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar