Kamis, 26 Februari 2015

Cerita Pendek



SatPol PP
Ar Rozaq
            Terdengar suara decitan rem mobil yang keras, hentakan sepatu pelor para petugas berlarian untuk mengejar para gepeng dan pedagang asongan maupun pedagang kaki lima, yang menjadikan alun-alun kota sebagai sumber pendapatan mereka. Terdengar teriakkan razia razia dari para gepeng maupun pedagang asongan, agar para teman-teman mereka tahu jikalau razia besar-besaran petugas SatPol PP sedang menyerbu mereka. Suasana ricuh ketika para anggota SatPol pp yang menurunkan tiga pleton pasukan dan lima mobil truk terbuka, untuk menggelandang dan merazia lapak dan barang dagangan mereka. Ada yang menangis dan mengamuk agar barang-barang mereka tidak dirazia petugas SatPoll PP. seorang Bapak dengan parangnya mengayunkan dengan bringas kepada petugas agar barang-barang dagangannya diturunkan dari truk, tapi dengan  kepungan para petugas, kedua angan bapak tersebut ditarik kebelakang tubuhnya kemudian diborgol agar tidak melakukan perlawanan lagi. Memang kawasan tersebut adalah alun-alun kota yang sarat dengan keindahan. Tetapi ketika kedatangan para gelandang dan pedagang kaki lima keindahan tersebut agak pudar dari alun-alun yang sebagai pusat keindahan kota dan tempat berlibur murah meriah bagi para warga kota.
            Para petugas itu menyisiri gang-gang perumahan warga, mereka tak segan untuk memburu target yang sudah mereka hafal tampang dan gelagat maupun tempat persembunyian dipemukiman warga sekitar alun-alun kota.
“Ayo ikut saya,” suara parau dan bentakannya mengagetkan sang ibu.
“mau dibawa kemana saya pak, ? saya tidak berbuat salah pak.” Bela nenek sambil memegang sampah yang mau dibuangnya.
“apa kamu bilang nenek reot, kamu itu sampah masyarakat yang harus dibina” bentak dia dengan sangat keras.
            Di seretnya nenek itu seperti hewan jelata yang sedang kelaparan. Tanpa mau mendengarkan gerutuan dan alasan sang nenek, anggota SatPol PP tersebut dengan sewenang-wenangnya menyeret ibu kedalam bak mobil disertai cercaan dan hinaan yang mengakibatkan air mata kepedihan keluar dari sudut mata yang keriput itu membasahi goresan-goresan luka pipi lusuhnya.
            Sudut kelopak mata nenek itu mengalirkan sebuah air mata, ratapan wajah tuanya tak menggemingkan hati dari anggota SatPol PP jikalau nenek itu tak pernah berbohong diahir usianya. Dia sandarkan tubuhnya di dinding bak truk yang mengangkutnya. Dalam usia yang sudah setengah dari perjalanan hidupnya, dia berucap lirih yang mungkin hanya satu atau dua orang yang mendengarnya, bahwa apakah disisa umurnya ajal akan menjemput dalam jeruji penjara.
            “duhai putraku, aku takut dalam ahir usiaku, kau tak menemukanku dalam hembusan nafas terahirku.” Ucap lanjutnya dengan gemetar bibirnya penuh pengharapan.
            Siapa yang tidak takut ketika ajal tanpa memilki pertanda bahwa waktu pengabdian kepada Illahi Rabbi telah selesai didunia, ketka ajal telah dekat menjemputnya seakan malaikat pencabut nyawa sudah menyapanya dengan kekerasan dan ekspresi wajah yang sangat menakutkan. Antara bumi dan langit tidaklah menjadi jarak bagi sang malaikat, hanya dalam hitungan satu detik pun malaikat mampu mengelilingi bumi delapan kali. Bukankah tak hayal jikalau mencabut nyawa nenek ketika malaikat tersebut masih mencabuti nyawa dibelahan bumi bagian utara.
            Nasib nenek itu tidak sendirian, ada lima orang yang ditangkap dan dibawa dalam truk untuk menuju rumah pembinaan para gepeng, ada bapak gendut yang tak memiliki kaki. Ditangannya ada tongkat penyangga untuk berjalan, tadi nenek melihat bapak itu harus digotong paksa untuk masuk kedalam truk tersebut. Ketika nenek masuk kedalam truk, nenek melihat seorang kakek yang buta bersama cucunya. Dan seorang ibu berkerudung yang kerudung bagian depannya diarahkan kedepan sehingga menutupi wajahnya dan diatas kerudung itu, bertengger topi untuk melindungi dari panas sinar matahari. Dibagian bak truk tersebut tiga orang petugas SatPol PP berjaga-jaga agar buruan mereka tidak ada yang nekat untuk loncat dari bak truk tersebut.
            “habiskanlah sisa nyawamu dalam rumah pembinaan nanti para sampah jalanan, kalian akan kami bina dengan sesuatu yang tak pernah kalian rasakan dari sebelum ini, dan kami masukkan kalian dalam penjara. Kalian tahu karena kalian kota tercintaku menjadi kumuh dan kotor.” Tawa petugas SatPol PP menggelegar seperti petir dalam rinai hujan yang lebat.
            “kenapa saya ditangkap pak ?” tangisnya mengiringi pertanyaan nenek itu.
            “kau masih bertanya nenek tua, kau ini sampah masyarakat yang harus dibina atau lebih pantasnya dibinasakan.” Sesumbarnya ketika membentak nenek itu.
            “saya bukan pemulung atau gembel pak, saya tadi mau buang sampah pak.”dengan gemetar nenek itu menjelaskan kronologis kejadian sesungguhnya.
            “apa aku buta nek, aku bisa membedakan mana yang orang normal dengan gembel.” Timpalnya dengan nada geram.
            perlu kau tahu nek, ribuan kali saya mengatasi kejadian seperti ini.dan tidak satupun saya salah dalam merazia gepeng seperti nenek. Sambil mengibas dan menendang tangan nenek yang memeluk kakinya, untuk memelas meminta diturunkan dan dibebaskan.
            Asap rokok dari mulut yang hitam legam anggota SatPol PP mengepul dalam bak mobil yang tertutup itu, sperti barang dalam kontainer. Para lansia yang dianggap gepeng oleh petugas itu teronggok tak berdaya dan lemas lunglai dan kaku dalam bak tersebut.karena sedari tadi pagi mereka belum mengisi perutnya dengan sesuatu yang bisa mengenyangkan dan yang bisa melegakan dahaga haus tenggorokan mereka.   
            Tiga anggota SatPol PP yang berjaga di bak mobil itu terus mengepul kan asap seakan mobil itu hanya tiga orang yang menghuni. Mereka seperti anjing penjaga rumah tuannya, dan para lansia yang dianggap gepeng itu adalah barang berharga milik tuan yang harus dijaga oleh tiga anjing tersebut. Sesuatu cerminan antara langit dengan bumi ketika aparatur pemerintah yang berhati binatang yang tidak becus mengurusi tatatanan kehidupan masyarakat yang universal.
            “ayo turun ngapain kalian malah tidur tiduran, ini bukan hotel. Ayo turun.” Bentak mereka bertiga.
            Dengan berat hati para lansia tersebut turun dari bak mobil,mereka berjalan seperti menapaki duri-duri tajam yang siap melukai kaki yang sudah melepuh karena panas aspal jalanan ibukota. Seakan seperti penjahat yang dihukumi hukuman mati, para sipir rumah pembinaan jijik dan muak dengan wajah wajah para gepeng dan lansia. Mereka tidak menyadari jikalau strata ekonomi dan pangkat tidak akan pernah menjadi jaminan bagi Allah SWT. hanya amal perbuatan lah yang bisa menyelamatkan mereka nanti dalam hisab ahirat.
            Dengan ketakutan, mereka masuk dalam jeruji penjara penampungan. Dalam samar-samar cahaya gelap ruangan dan bau menusuk hidung. Nenek itu bertasbih dalam kepasrahan, mungkin inilah cara Allah untuk mencintai dia. Diahir umur nenek itu, dia sangat di sayang  Allah dengan menguji kesabarannya. yang entah sampai kapan maut menyapanya dalam kesabaran menghadapi ujian ini.
            Suara besi tua yang sudah karatan terbuka perlahan dan seketika itu dibanting pintu tersebut oleh sipir petugas SatPol PP, dengan kasar dia menyeret ibu itu dan bertanya dengan gaya sok berkuasa.
            “kenapa tidak mau ngaku kalau nenek itu gepeng,lihat baju kumuhmu nek,” suara keras dia membangunkan rasa ketakutan nenek itu.
            “maaf pak, saya tadi hanya membuang sampah, apakah saya salah pak?” jelas nenek yang sudah serak suara nya itu.
            “nenek tua bangka yang  tidak tahu diri, masih bisa berbohong kamu nek,” tangan sang sipir petugas penjaga  memukul pipi nenek tersebut .
            Dengan memegangi dan membungkam bibir yang terluka karena pukulan sipir petugas, nenek itu menangis. nenek itu menangis bukan karena rasa sakit, melainkan sedih karena kelaliman petugas SatPol PP tersebut atas apa praduga dan sangkaan yang hanya berdasarkan nafsu penguasa semata.
            “maaf pak, bapak salah tangkap. Saya punya keluarga pak” bela nenek itu.
            “masih mau ini kamu nek,” bentak dia sambil mengacungkan kaki untuk mendiamkan mulut nenek tersebut biar tidak beralasan lagi.
            Dengan kerasnya sepatu dinas satpol pp tersebut menghujam kaki nenek yang sedang bersimpuh memeluk kaki petugas tersebut. Tubuh renta itu terhuyung kebelakang dan isak tangis nya tak terelakkan tumpah ruah dalam kebiadaban tingkah binatang yang berjubah anggota SatPol PP.
            “kalau kamu mengaku nenek bangka, aku tidak akan menyiksamu seperti ini.” Bentak sipir itu.
            Dari luar jeruji besi terdengar suara langkah kaki, terus melangkah dan diam membisu  tanpa seribu tanda tanya. Ditengah pintu dia seperti terpukul godam malaikat maut saat tidak bisa menjawab pertanyaan siksa kuburnya. Hatinya luluh lantah ketika melihat seorang nenek tersimpuh kesakitan dan mulutnya berdarah. Sedangkan  di depannya ada anak buahnya yang dengan seribu pertanyaan menyudutkan nenek itu dan sekali lagi hantaman tangan petugas itu langsung mendarat di pipi keriput nenek tersebut.
            “hentikan”, bentak sesorang yang ternyata adalah komandan dari petugas itu.
            Suara emosi dan amarah yang seakan bagaikan lahar panas mau muntah dipermukaan gunung, komandan tersebut hanya bisa meratapi dengan tangis dan gemetar tubuhnya ketika melihat siapa wanita tua dihadapannya tersebut.
            Tubuh anggota satpol pp itu gemetar ketika mengetahui siapa yang membentak dia. Kelakuan dia adalah sangat jauh dari prosedural tugas yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam mengayomi masyarakatnya.
            “ibu kenapa ada di sini,? Kata komandan kepada nenek tersebut sambil memeluk dan menangis karena penyesalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar