Senin, 23 Februari 2015

Cerita Pendek



Nyawa Beragama.
Ar Rozaq
Aku pun tersentak kaget mendengar apa yang ibu itu ceritakan kepadaku, ibu itu berpindah agama karena mempertaruhkan nyawa anaknya. Aku sebagai sesama muslim sangat prihatin ketika seorang ibu yang memiliki tanggungan anak harus menggadaikan kepercayaan agamanya untuk ditukarkan dengan nyawa, polemik memang. Hatiku terenyuh saat ibu berargumen menyelamatkan putranya dengan menggadaikan agamanya, dengan mempertegas argumennya. Ibu itu berkata, jangankan agama saya nyawapun rela saya tukar dengan keselamatan putranya. Tapi dalam hati kecilku menyanggah pendapat beliau, kenapa semudah itu sebuah kepercayaan kepada Tuhan harus digadaikan dengan uang. Iya uang, karena dalih tak memiliki biaya untuk berobat putranya, ibu itu harus rela menggadaikan agamanya.
            Pertama kali ibu itu mengutarakan seperti apa sejarah hidupnya saat ibu itu salah dalam mencari orang, entah karena apa, ibu itu yakin bahwa aku adalah orang yang dia cari dan mampu membantu beban hidup yang dideritanya. Andi tolong ibu nak, Dilla tengah sekarat. Ibu butuh bantuan biaya darimu nak. Aku pun tersentak bingung dengan perkataan wanita itu. Ku langkahkan kaki untuk menjauhinya, menuju gerbang keluar rumah sakit Syaiful Anwar. Nak tolong ibu, kasihan Dilla. Lanjutnya dan dengan sigap perkataan ibu itu diiringi berbarengan menggenggam erat lenganku, aku kibaskan genggaman itu. Tetapi, cengkramannya ibu sangat kuat.
            “Apa-apaan ini bu? Jangan kurang ajar dengan saya bu, saya akan laporkan ibu ke satpam”, bentakku kepada ibu itu.
            Ibu itu terdiam menatap wajahku, entah kenapa ibu itu melihat wajahku. Apakah aku bersalah?, atauakah ini modus penipuan dikota besar ini. Ingin ku langkahkan kaki untuk menjauhi ibu itu, aku juga teringat bahwa sekarang banyak modus hipnotis seperti ini. Ku rangkul pundak Wildan untuk mengalihkan usaha ibu itu untuk mengintimidasi pikiran kita. Aku sadar ini adalah modus hipnotis. Aku menunggu angkot ADL jurusan Dinoyo, memang selama aku kuliah di Malang, aku ngekos di daerah Tata Surya.
            “Kok mau pulang Mi?, bukannya kita tadi baru datang untuk menjenguk Hilda ya?”, pertanyaan Wildan mengingatkan tujuanku ke rumah sakit ini.
            Aku baru tersadar apakah tujuanku ke rumah sakit ini, menjenguk teman yang kemaren tertabrak ketika dia berangkat ke tempat kuliah. Ku balikkan arah langkah kaki, dan ku lewati lorong rumah sakit tadi. Entah kenapa aku tak berpikir untuk memutar dan mengambil jalan lain agar tidak bertemu ibu tadi.
            Kenapa aku seperti ini, acuh dengan sesama mahluk Allah. Ah bukan itu maksudku, aku ingat mata kuliah Filsafat Bahasa. Beliau bapak dosen pernah mengatakan, bahwa pengemis Indonesia penghasilannya sangat menjanjikan bahkan lebih dari PNS. Beliau melihat sendiri bahwa seorang ibu-ibu kumal dengan pakaian berlapis dan mengenakan tudung penutup kepala sampai menutupi mata dan diatasnya mengenakan topi. Segelas air minum bekas ditaruhnya didepannya. Saya menjadi terkejut ketika ibu itu menghitung uang yang dia dapatkan, anehnya pula saya juga pernah memergoki ibu itu beli pulsa dikonter. Penghasilan yang sangat  menggiurkan tapi sangat hina di mata Allah, lanjut pak dosen. Aku mengingat itu.
            Sebelum aku masuk blok mawar no kamar 007 , ibu itu mencegatku sekitar 15 meter dari tujuanku. Aku pun mendesah berat, dalam benakku, apa lagi yang akan dia katakana sebagai modus penipuannya kali ini.
            “Ibu sadar nak, ibu hanya bisa berkeluh kesah ke kamu nak. Entah karena ibu tak mengenal mu, ibu berani mau membagi cerita hidup ibu yang bimbang. Dan ibu berharap kamu nak, bias membimbing ibu”, desah ibu itu pelan.
            “Kenapa ibu percaya dengan saya?, toh ibu juga tidak mengenal saya. Dan maaf bu, saya masih bingung dengan apa yang ibu maksud.  Tapi saya yakin taka da unsur penipuan dari perkataan ibu barusan.” Aku pun tak tega dan yakin kalau ibu itu tulus meminta bantuan.
            Selang beberapa menit, wildan pamit untuk menjenguk Hilda yang terbaring sakit di kamar 007 blok mawar. Dia juga beresan kepadaku, untuk menolong ibu itu semampunya. Aku hanya tercengang melihat wildan yang sudah berlalu, kenapa juga dia juga sependapat dan sperasaan denganku. Mungkin ini adalah sebuah jalan dakwah yang ditunjukkan Allah kepadaku. Entah bukan karena aku ambil jurusan tarbiyyah, tapi aku sudah dapat empat bulan mengikuti kegiatan dakwah kampus. Aku juga ingin merealisasikan ilmu yang kuperoleh.
            “Ibu telah menggadaikan agama yang sejak dini ibu anut nak, anak ibu terserang tumor otak stadium 4. Ibu bingung harus berbuat apa?, ibu tak memiliki suami dan sanak saudara tak pernah mengakui kami. Sejak kejadian itu, kejadian rumah ibu terbakar. Dan baru ibu sadar bahwa keluarga dari suami kami hanya menginginkan harta ibu, termasuk suami ibu. Tapi semua sudah dapat balasannya nak, harta ibu yang dibawa kabur dan sudah dipindah tangankan telah hangus terbakar dan terjual dengan gaya hidup foya keluarga dari suami ibu nak”, dalam sudut mata ibu menetes air mata, kelopak matanya pun terselubungi air mata.
            Tak percaya, itu awal dari apa yang telah aku dengar. Mungkinkah harus seperti ini, agam dengan nayawa setipis itu kah satir yang mengahalanginya?, atau kah agama yang tak memiliki keimanan yang ibu itu laksanakan. Ustadz Ali pernah mengisi forum dalam acara dakwah kampus, bahwasanya Allah itu sangat dekat. Allah mengerti dan memberikan yang terbaik bagi hambaNya. tapi esensinya kitalah yang menjauhiNya. Bukan Allah yang membutuhkan kita, melainkan kita yang membutuhkanNya. La haula wa la quwwatailla bi lahil aliyyil adzim. Perkataan beliaulah yang selalu terngiang dibenak ku. Apakah agama bias dibeli, serendah itu kah agama itu. Bukan, bukan agamanya yang rendah melainkan pemeluknya yang sangat rendah.
            “Kenapa ibu melakukan semua itu?, apa karena hanya dengan alasan seperti itu, ibu rela berpindah agama?. Ibu murtad dari agama yang ibu yakini?”, selorong pertanyaan terus aku ajukan kepada ibu itu.
            Aku pun diam, dan ibu itupun juga terdiam. Entah apa yang dipikirkannya, bingung? Mungkin. Karena aku yakin ada setitik rasa bersalah dalam hatinya ketika dia berubah dan memilih agama lain. lama kami terdiam, dan entah kenapa ketika aku menuggu jawabn ibu itu, aku teringat kalau aku harus menjenguk Hilda. Terlalu lama juga aku menunggu wildan untuk menjemputku. Tadi sebelum pamitan, wildan berkata kalau dia akan menjemputku, aku juga menangkap rasa kehawatiran wildan jikalau aku terkena tipuan ataupun hipnotis.
            “Maaf bu, aku harus menjenguk teman, saya pamit bu”, pamitku kepada ibu itu.
            Ibu itu memegang tanganku.
            “Nak, apakah ibu salah, apakah tindakan ibu demimenyelamatkan nyawa naka satu-satunya ibu dengan jalan menggadai atau lebih tepatnya menjual agama ibu itu salah?. Meskipun ibu menyesal, dan ibu menginginkan kembali ke jalan agama ibu yang dulu percuma. Selang sehari setelah ibu di baptis anaka ibu dioperasi. Kemaren ibu dibaptis nak.” Tetes air mata itu jatuh membasahi pipi keriput ibu itu.
            Aku pun terdiam dalam menatap mata ibu itu, entah kenapa aku sadar bahwa mata ibu itu sama dengan mata umi di rumah. Aku iba dan aku rindu melihat mata itu menangis. Tangis pelukan umi ditubuhku, dan berkata, aku sayang padamu nak. Hanya kenangan itu lah ketika aku menatap suduta mata ibu itu yang tergenangi oleh air mata, teringat umi dirumah. Umi anakmu sangat rindu padamu.
            Aku pun tergugup bangun dari hayalanku tentang umi, saat Wildan menepuk bahuku dan mengajak aku masuk ke dalam kamar Hilda.
            “Oh iya dan, maaf aku kelupaan”, balasku terhadap Wildan
            Aku pun berpamitan dengan ibu itu, aku meminta maaf kepada beliau. Untuk saat ini belum bisa menjawabnya. aku mengakui bahwa tingkat pemahamanku terhadap agama masih sangat awam. Aku juga yakin, meskipun seorang mahasiswa tarbiyyah pun, sulit untuk memberikan deskripsi penyelesaian masalah yang dihadapi oleh ibu ini. Kalau cuman jawaban sebatas karena pelaku kemurtadan imannya sangat dangkal atau kembalilah ke ajaran Allah. Anak SD pun bias kalau bilang seperti itu. Ibu itu membutuhkan stimultan untuk memecahkan dan memberisolusi terbaik dalam jalan hidupnya, itu yang ibu utarakan tadi saat memintaku untuk memberikan masukan mengenai masalah yang ibu hadapi.
            Jingga di ufuk barat pun silah memudarkan warnanya, udara pun berganti menyelimuti setiap insan dengan sebuah kedinginan yang sangat. Aku baru tersadar bahwa ini mau memasuki bulan september, dulu waktu aku menjadi maba, begitu dingin yang kurasakan. Detik pun silih berganti dengan menit, menutup sebuah cerita yang telahterukirkan oleh setiap insan, bagaikan sebuah buku yang berganti tiap lembar. Membiarkan sang penulis menari-nari dengan pena hidupnya. Tubuh dalam balutan asma Allah, ayat kursi,  dan sebuah doa untuk mendapatkan keterbaikan dari kebaikan yang disiapkan Allah teruntuk besok. Dan ketika semua cerita dalam buku telah selesai dituliskan, lembaran hari barupun telah menanti.
            Dengan menggunakan angkot ADL, aku bergegas menuju RS. Syaiful Anwar. Nitaku menuju RS bukan hanya untuk menjenguk hilda lagi, bukan. Melainkan aku ingin bertemu ibu itu, entah tiba-tiba malam itu, setelah aku bertemu ibu itu. Aku bermimpi kalau ibu itu di salip dan dibakar oleh api dibawahnya. Dan anaknya pun mencela-cela ibunya. Entah pemandangan apa yang telah aku lihat. Aku pun hanya menjadi seonggok patung, tak berperan apapun. Hanya menjadi penonton yang setia dengan penderitaan orang lain. aku pun menangis dan menyesal, hanya menjadi seonggok patung. Tapi aku mendengar suara azan. Aku baru tersadar dan terbangun dari mimpiku yang sangat nyata, tapi aku pun tertegum mimpi itu kenapa buruk. Pertanda apakah ini?. Mi, kita sudah sampai. Ucap Wildan membuyarkan lamunanku.
            Ku berlari mendekati lorong rumah sakit, aku temui ibu itu yang sedang duduk di lobi ruang operasi itu. Aku ucapkan selamat siang, aku sudah ingat kalau ibu itu bukan saudara seagamaku. Aku mencium tangannya sebagai penghormatanku terhadap orang tua. Sejenak kemudian ibu itupun menangis, aku bingung dengan semua itu. Tanpa aku berkata apa-apa ibu itu sudah melelhkan air mata disudut kelopak matanya.
            Sekian lama ibu itu menangis, barulah dia mau berbicara kepadaku,
            “Nak, ibu baru tersadar bahwa jalan yang ibu tempuh mengenai agama yang ibu jual dengan nyawa anak ibu salah. Ibu menyesal nak, ibu menyesal”, tangisnya mengiringi ucapannya.
            Entah hidayah apa yang telah diperoleh ibu itu, tapi aku ingat bahwa dosa besar yang tidak bias diampuni adalah murtad, keluar dari agama Islam. Entahlah, semua itu adalah urusan Allah, karena itu adalah kuasaNya untuk mengampuni hambanya yang terdesak oleh keadaan.
            Dalam keheningan waktu, ibu itu memecah keadaan dengan berujar kepada kami.
            “Kalian berdua tahu tidak, ternyata ketika ibu di baptis, ibu harus menjadi agen kristenisasi kepada warga yang senasib dengan ibu. Nak, ibu masih yakin dengan adanya Allah, tetapi ibu tidak tahu kenapa ibu harus murtad. Apakah boleh ketika menjual agama hanya Karena faktor apapun, dan dengan alasan apapun ibu yakin. Menjuala gama tidak diperkenankan. Murtad tetaplah dosa besar yang tidak bias di ampuni oleh Allah, ibu menyesal nak. Kenap ibu harus menyebarkan agama yang tidak ibu yakini. Apakah waktu bias berubah nak? Apakah bisa?’. Sesal beliau kepada kami.
            Akupun hanya mendesah nafas dan terdiam, kulirik Wildan. Sedari tadi dia tak berkata apapun, padahal dia yang lebih dalam pengetahuan gamanya. Sebelum mengambil jurusan tarbiyyah, dia alumni pesantren Gontor 1 di Ponorogo. Benar juga asumsiku kemaren, bukan hanya mahsiswa selain tarbiyyah  yang tidak bisa memecahkan masalah seperti ini. Mereka pun juga tidak bisa.
            Tak kusadari ibu itu berlari sejadi-jadinya, entah gerangan apa yang sedang terjadi kepada ibu itu. Tapi sebelum ibu itu berlari, dia berpamit menuju ke masjid. Aku pun bingung kenapa ibu itu harus ke masjid, akankah ibu itu? Ah hanya persepsi semata yang bisa ku tangkap dari kejadiaan ini.
            “Mi, ayo kita ke kamar rawatnya Hilda. Sekalian kita menjenguk Hilda”, ucap Wildan membuyarkan lamunanku.
            “Iya wild”, jawabku.
            Baru liama langkah kaki kami berjalan, terdengar suara gaduh di jalan. Entah seperti suara mobil yang ngerem mendadak dan timbul suara benturan yang keras, dan suara teriakan dari orang bermunculan. Akupun trehenyak dengan suara itu, secepat kilat aku pun berlari dengan menarik tangan Wildan. Firasataku tidak enak, ucapku pada Wildan.
            Sesampainya di jalan, aku pun menyibak kerumunan warga yang berjubel menolong dan menyaksikan. Ada mobil yang pesok bagian depan dan berceceran darah. Dan sopir yang tak sadarkan diri karena jidatnya yang berdarah. Mungkin waktu kejadian kepalanya membentur setir ketika ngerem mendadak. Penumpangnya cuman satu, pelajar putri wanita sekaligus sopir mobil mobil Honda Jazz. Kuedarkan mataku untuk mencari siapa korban yang tertabrak itu, aku melihat gerumbulan warga yang berkerumun. Segera kudekati kerumunan warga itu, alangkah kaget diri ini ketika meliahat siapa yang menjadi korban, ibu itu. Aku pun berteriak kepada warga suruh cepat dibawa ke rumah sakit. Tapi kata mereka, sudah terlambat, beliau sudah mati. Dan warga menunggu polisi untuk olah TKP.
            Aku pun terduduk lesu di pinggir jalan, melihat kejadian itu. Harus berkata apa? tanpa tersadar berkata Innalillah. Akupun bingung, makam itu harus dikasih nisan bertuliskan Innalillah atau berpalangkan salib. Kuburan mu juga bingung bu, salib ataukah nisan. Batinku.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar