Nyawa Beragama.
Ar Rozaq
Aku pun tersentak kaget mendengar
apa yang ibu itu ceritakan kepadaku, ibu itu berpindah agama karena mempertaruhkan
nyawa anaknya. Aku sebagai sesama muslim sangat prihatin ketika seorang ibu
yang memiliki tanggungan anak harus menggadaikan kepercayaan agamanya untuk
ditukarkan dengan nyawa, polemik memang. Hatiku terenyuh saat ibu berargumen menyelamatkan
putranya dengan menggadaikan agamanya, dengan mempertegas argumennya. Ibu itu
berkata, jangankan agama saya nyawapun rela saya tukar dengan keselamatan
putranya. Tapi dalam hati kecilku menyanggah pendapat beliau, kenapa semudah
itu sebuah kepercayaan kepada Tuhan harus digadaikan dengan uang. Iya uang,
karena dalih tak memiliki biaya untuk berobat putranya, ibu itu harus rela
menggadaikan agamanya.
Pertama
kali ibu itu mengutarakan seperti apa sejarah hidupnya saat ibu itu salah dalam
mencari orang, entah karena apa, ibu itu yakin bahwa aku adalah orang yang dia
cari dan mampu membantu beban hidup yang dideritanya. Andi tolong ibu nak, Dilla tengah sekarat. Ibu butuh bantuan biaya
darimu nak. Aku pun tersentak bingung dengan perkataan wanita itu. Ku
langkahkan kaki untuk menjauhinya, menuju gerbang keluar rumah sakit Syaiful Anwar.
Nak tolong ibu, kasihan Dilla. Lanjutnya dan dengan sigap perkataan ibu itu
diiringi berbarengan menggenggam erat lenganku, aku kibaskan genggaman itu.
Tetapi, cengkramannya ibu sangat kuat.
“Apa-apaan ini bu?
Jangan kurang ajar dengan saya bu, saya akan laporkan ibu ke satpam”, bentakku
kepada ibu itu.
Ibu itu terdiam
menatap wajahku, entah kenapa ibu itu melihat wajahku. Apakah aku bersalah?,
atauakah ini modus penipuan dikota besar ini. Ingin ku langkahkan kaki untuk
menjauhi ibu itu, aku juga teringat bahwa sekarang banyak modus hipnotis seperti
ini. Ku rangkul pundak Wildan untuk mengalihkan usaha ibu itu untuk
mengintimidasi pikiran kita. Aku sadar ini adalah modus hipnotis. Aku menunggu
angkot ADL jurusan Dinoyo, memang selama aku kuliah di Malang, aku ngekos di
daerah Tata Surya.
“Kok mau pulang Mi?,
bukannya kita tadi baru datang untuk menjenguk Hilda ya?”, pertanyaan Wildan
mengingatkan tujuanku ke rumah sakit ini.
Aku baru tersadar
apakah tujuanku ke rumah sakit ini, menjenguk teman yang kemaren tertabrak
ketika dia berangkat ke tempat kuliah. Ku balikkan arah langkah kaki, dan ku
lewati lorong rumah sakit tadi. Entah kenapa aku tak berpikir untuk memutar dan
mengambil jalan lain agar tidak bertemu ibu tadi.
Kenapa aku seperti
ini, acuh dengan sesama mahluk Allah. Ah bukan itu maksudku, aku ingat mata
kuliah Filsafat Bahasa. Beliau bapak dosen pernah mengatakan, bahwa pengemis
Indonesia penghasilannya sangat menjanjikan bahkan lebih dari PNS. Beliau
melihat sendiri bahwa seorang ibu-ibu kumal dengan pakaian berlapis dan
mengenakan tudung penutup kepala sampai menutupi mata dan diatasnya mengenakan
topi. Segelas air minum bekas ditaruhnya didepannya. Saya menjadi terkejut
ketika ibu itu menghitung uang yang dia dapatkan, anehnya pula saya juga pernah
memergoki ibu itu beli pulsa dikonter. Penghasilan yang sangat menggiurkan tapi sangat hina di mata Allah,
lanjut pak dosen. Aku mengingat itu.
Sebelum aku masuk
blok mawar no kamar 007 , ibu itu mencegatku sekitar 15 meter dari tujuanku.
Aku pun mendesah berat, dalam benakku, apa lagi yang akan dia katakana sebagai
modus penipuannya kali ini.
“Ibu sadar nak, ibu
hanya bisa berkeluh kesah ke kamu nak. Entah karena ibu tak mengenal mu, ibu
berani mau membagi cerita hidup ibu yang bimbang. Dan ibu berharap kamu nak,
bias membimbing ibu”, desah ibu itu pelan.
“Kenapa ibu
percaya dengan saya?, toh ibu juga tidak mengenal saya. Dan maaf bu, saya masih
bingung dengan apa yang ibu maksud. Tapi
saya yakin taka da unsur penipuan dari perkataan ibu barusan.” Aku pun tak tega
dan yakin kalau ibu itu tulus meminta bantuan.
Selang beberapa
menit, wildan pamit untuk menjenguk Hilda yang terbaring sakit di kamar 007
blok mawar. Dia juga beresan kepadaku, untuk menolong ibu itu semampunya. Aku
hanya tercengang melihat wildan yang sudah berlalu, kenapa juga dia juga
sependapat dan sperasaan denganku. Mungkin ini adalah sebuah jalan dakwah yang
ditunjukkan Allah kepadaku. Entah bukan karena aku ambil jurusan tarbiyyah, tapi
aku sudah dapat empat bulan mengikuti kegiatan dakwah kampus. Aku juga ingin
merealisasikan ilmu yang kuperoleh.
“Ibu telah
menggadaikan agama yang sejak dini ibu anut nak, anak ibu terserang tumor otak
stadium 4. Ibu bingung harus berbuat apa?, ibu tak memiliki suami dan sanak
saudara tak pernah mengakui kami. Sejak kejadian itu, kejadian rumah ibu
terbakar. Dan baru ibu sadar bahwa keluarga dari suami kami hanya menginginkan
harta ibu, termasuk suami ibu. Tapi semua sudah dapat balasannya nak, harta ibu
yang dibawa kabur dan sudah dipindah tangankan telah hangus terbakar dan
terjual dengan gaya hidup foya keluarga dari suami ibu nak”, dalam sudut mata
ibu menetes air mata, kelopak matanya pun terselubungi air mata.
Tak percaya, itu
awal dari apa yang telah aku dengar. Mungkinkah harus seperti ini, agam dengan
nayawa setipis itu kah satir yang mengahalanginya?, atau kah agama yang tak
memiliki keimanan yang ibu itu laksanakan. Ustadz Ali pernah mengisi forum
dalam acara dakwah kampus, bahwasanya Allah itu sangat dekat. Allah mengerti
dan memberikan yang terbaik bagi hambaNya. tapi esensinya kitalah yang menjauhiNya.
Bukan Allah yang membutuhkan kita, melainkan kita yang membutuhkanNya. La
haula wa la quwwatailla bi lahil aliyyil adzim. Perkataan beliaulah yang
selalu terngiang dibenak ku. Apakah agama bias dibeli, serendah itu kah agama
itu. Bukan, bukan agamanya yang rendah melainkan pemeluknya yang sangat rendah.
“Kenapa ibu
melakukan semua itu?, apa karena hanya dengan alasan seperti itu, ibu rela
berpindah agama?. Ibu murtad dari agama yang ibu yakini?”, selorong pertanyaan
terus aku ajukan kepada ibu itu.
Aku pun diam, dan
ibu itupun juga terdiam. Entah apa yang dipikirkannya, bingung? Mungkin. Karena
aku yakin ada setitik rasa bersalah dalam hatinya ketika dia berubah dan
memilih agama lain. lama kami terdiam, dan entah kenapa ketika aku menuggu
jawabn ibu itu, aku teringat kalau aku harus menjenguk Hilda. Terlalu lama juga
aku menunggu wildan untuk menjemputku. Tadi sebelum pamitan, wildan berkata
kalau dia akan menjemputku, aku juga menangkap rasa kehawatiran wildan jikalau
aku terkena tipuan ataupun hipnotis.
“Maaf bu, aku
harus menjenguk teman, saya pamit bu”, pamitku kepada ibu itu.
Ibu itu memegang
tanganku.
“Nak, apakah ibu
salah, apakah tindakan ibu demimenyelamatkan nyawa naka satu-satunya ibu dengan
jalan menggadai atau lebih tepatnya menjual agama ibu itu salah?. Meskipun ibu
menyesal, dan ibu menginginkan kembali ke jalan agama ibu yang dulu percuma.
Selang sehari setelah ibu di baptis anaka ibu dioperasi. Kemaren ibu dibaptis
nak.” Tetes air mata itu jatuh membasahi pipi keriput ibu itu.
Aku pun terdiam
dalam menatap mata ibu itu, entah kenapa aku sadar bahwa mata ibu itu sama
dengan mata umi di rumah. Aku iba dan aku rindu melihat mata itu
menangis. Tangis pelukan umi ditubuhku, dan berkata, aku sayang padamu nak.
Hanya kenangan itu lah ketika aku menatap suduta mata ibu itu yang tergenangi
oleh air mata, teringat umi dirumah. Umi anakmu sangat rindu padamu.
Aku pun tergugup
bangun dari hayalanku tentang umi, saat Wildan menepuk bahuku dan
mengajak aku masuk ke dalam kamar Hilda.
“Oh iya dan, maaf
aku kelupaan”, balasku terhadap Wildan
Aku pun berpamitan
dengan ibu itu, aku meminta maaf kepada beliau. Untuk saat ini belum bisa
menjawabnya. aku mengakui bahwa tingkat pemahamanku terhadap agama masih sangat
awam. Aku juga yakin, meskipun seorang mahasiswa tarbiyyah pun, sulit
untuk memberikan deskripsi penyelesaian masalah yang dihadapi oleh ibu ini.
Kalau cuman jawaban sebatas karena pelaku kemurtadan imannya sangat dangkal
atau kembalilah ke ajaran Allah. Anak SD pun bias kalau bilang seperti itu. Ibu
itu membutuhkan stimultan untuk memecahkan dan memberisolusi terbaik dalam
jalan hidupnya, itu yang ibu utarakan tadi saat memintaku untuk memberikan
masukan mengenai masalah yang ibu hadapi.
Jingga di ufuk barat pun silah memudarkan
warnanya, udara pun berganti menyelimuti setiap insan dengan sebuah kedinginan
yang sangat. Aku baru tersadar bahwa ini mau memasuki bulan september, dulu
waktu aku menjadi maba, begitu dingin yang kurasakan. Detik pun silih berganti
dengan menit, menutup sebuah cerita yang telahterukirkan oleh setiap insan,
bagaikan sebuah buku yang berganti tiap lembar. Membiarkan sang penulis
menari-nari dengan pena hidupnya. Tubuh dalam balutan asma Allah, ayat
kursi, dan sebuah doa untuk
mendapatkan keterbaikan dari kebaikan yang disiapkan Allah teruntuk besok. Dan
ketika semua cerita dalam buku telah selesai dituliskan, lembaran hari barupun
telah menanti.
Dengan menggunakan angkot ADL, aku bergegas menuju RS. Syaiful
Anwar. Nitaku menuju RS bukan hanya untuk menjenguk hilda lagi, bukan.
Melainkan aku ingin bertemu ibu itu, entah tiba-tiba malam itu, setelah aku
bertemu ibu itu. Aku bermimpi kalau ibu itu di salip dan dibakar oleh api
dibawahnya. Dan anaknya pun mencela-cela ibunya. Entah pemandangan apa yang
telah aku lihat. Aku pun hanya menjadi seonggok patung, tak berperan apapun.
Hanya menjadi penonton yang setia dengan penderitaan orang lain. aku pun menangis
dan menyesal, hanya menjadi seonggok patung. Tapi aku mendengar suara azan. Aku
baru tersadar dan terbangun dari mimpiku yang sangat nyata, tapi aku pun
tertegum mimpi itu kenapa buruk. Pertanda apakah ini?. Mi, kita sudah sampai.
Ucap Wildan membuyarkan lamunanku.
Ku berlari
mendekati lorong rumah sakit, aku temui ibu itu yang sedang duduk di lobi ruang
operasi itu. Aku ucapkan selamat siang, aku sudah ingat kalau ibu itu bukan
saudara seagamaku. Aku mencium tangannya sebagai penghormatanku terhadap orang
tua. Sejenak kemudian ibu itupun menangis, aku bingung dengan semua itu. Tanpa
aku berkata apa-apa ibu itu sudah melelhkan air mata disudut kelopak matanya.
Sekian lama ibu
itu menangis, barulah dia mau berbicara kepadaku,
“Nak, ibu baru
tersadar bahwa jalan yang ibu tempuh mengenai agama yang ibu jual dengan nyawa
anak ibu salah. Ibu menyesal nak, ibu menyesal”, tangisnya mengiringi
ucapannya.
Entah hidayah apa
yang telah diperoleh ibu itu, tapi aku ingat bahwa dosa besar yang tidak bias
diampuni adalah murtad, keluar dari agama Islam. Entahlah, semua itu
adalah urusan Allah, karena itu adalah kuasaNya untuk mengampuni hambanya yang
terdesak oleh keadaan.
Dalam keheningan
waktu, ibu itu memecah keadaan dengan berujar kepada kami.
“Kalian berdua
tahu tidak, ternyata ketika ibu di baptis, ibu harus menjadi agen kristenisasi
kepada warga yang senasib dengan ibu. Nak, ibu masih yakin dengan adanya Allah,
tetapi ibu tidak tahu kenapa ibu harus murtad. Apakah boleh ketika menjual
agama hanya Karena faktor apapun, dan dengan alasan apapun ibu yakin. Menjuala
gama tidak diperkenankan. Murtad tetaplah dosa besar yang tidak bias di ampuni
oleh Allah, ibu menyesal nak. Kenap ibu harus menyebarkan agama yang tidak ibu
yakini. Apakah waktu bias berubah nak? Apakah bisa?’. Sesal beliau kepada kami.
Akupun hanya
mendesah nafas dan terdiam, kulirik Wildan. Sedari tadi dia tak berkata apapun,
padahal dia yang lebih dalam pengetahuan gamanya. Sebelum mengambil jurusan tarbiyyah,
dia alumni pesantren Gontor 1 di Ponorogo. Benar juga asumsiku kemaren,
bukan hanya mahsiswa selain tarbiyyah yang tidak bisa memecahkan masalah seperti
ini. Mereka pun juga tidak bisa.
Tak kusadari ibu
itu berlari sejadi-jadinya, entah gerangan apa yang sedang terjadi kepada ibu
itu. Tapi sebelum ibu itu berlari, dia berpamit menuju ke masjid. Aku pun
bingung kenapa ibu itu harus ke masjid, akankah ibu itu? Ah hanya persepsi
semata yang bisa ku tangkap dari kejadiaan ini.
“Mi, ayo kita ke
kamar rawatnya Hilda. Sekalian kita menjenguk Hilda”, ucap Wildan membuyarkan
lamunanku.
“Iya wild”,
jawabku.
Baru liama langkah
kaki kami berjalan, terdengar suara gaduh di jalan. Entah seperti suara mobil
yang ngerem mendadak dan timbul suara benturan yang keras, dan suara teriakan
dari orang bermunculan. Akupun trehenyak dengan suara itu, secepat kilat aku
pun berlari dengan menarik tangan Wildan. Firasataku tidak enak, ucapku pada
Wildan.
Sesampainya di
jalan, aku pun menyibak kerumunan warga yang berjubel menolong dan menyaksikan.
Ada mobil yang pesok bagian depan dan berceceran darah. Dan sopir yang tak
sadarkan diri karena jidatnya yang berdarah. Mungkin waktu kejadian kepalanya
membentur setir ketika ngerem mendadak. Penumpangnya cuman satu, pelajar putri
wanita sekaligus sopir mobil mobil Honda Jazz. Kuedarkan mataku untuk mencari
siapa korban yang tertabrak itu, aku melihat gerumbulan warga yang berkerumun.
Segera kudekati kerumunan warga itu, alangkah kaget diri ini ketika meliahat
siapa yang menjadi korban, ibu itu. Aku pun berteriak kepada warga suruh cepat
dibawa ke rumah sakit. Tapi kata mereka, sudah terlambat, beliau sudah mati.
Dan warga menunggu polisi untuk olah TKP.
Aku pun terduduk
lesu di pinggir jalan, melihat kejadian itu. Harus berkata apa? tanpa tersadar
berkata Innalillah. Akupun bingung, makam itu harus dikasih nisan bertuliskan
Innalillah atau berpalangkan salib. Kuburan mu juga bingung bu, salib ataukah
nisan. Batinku.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar