Kamis, 26 Februari 2015

Cerita Pendek



Daun Mati
Ar Rozaq
Cicak itu gemulai melangkahkan kaki yang menempel pada lapisan tembok bercat putih awan itu, melangkah pelan mengendap-endap agar buruan didepan matanya masih dalam jangkauan lidahnya. Ia merayap terus perlahan seakan dia tidak ingin menimbulkan suara langkah kaki, dengan jangkauan begitu dekat dia mempercepat langkah dan sekejap kedipan mataku dua ekor Laron telah hinggap dalam mulutnya. Inilah kehidupan lingkungan binatang, hukum rimba terus mereka budayakan, siapa yang kuat dia adalah pemenangnya.
Drama yang diperankan oleh cicak membuat aku termenung sejenak dalam diam, inikah hukum rimba yang hewan tunjukkan. Andaikan hukum itu kami terapkan untuk mengatasi problematika bangsa, akankah kami tak lebih hina dari binatang?, iya benar. Tak lebih bangsa kita adalah bangsa manusia terhormat yang berotak kan binatang, lamunanku pun buyar ketika emak membawa secangkir wedang teh dan beberarpa potong pisang goreng yang mengepulkan asap pertanda bahwa makanan ini baru selesai dimasak.
“Dimakan le, mumpung masih panas. Hujan-hujan seperti ini, lebih enak menikmati makanan yang panas”, celetuk emak yang membuyarkan lamunanku.
“Iya mak, terimakasih”. Jawabku sambil mengambil sepotong pisang goreng.
Emak pun duduk disampingku, mengenakan jaket kepadaku yang dari tadi hanya mengenakan kaos oblong dan sarung yang membalut tubuh bagian bawahku.
Denting jam pun berbunyi seperti detak jantung yang memompa darah dalam tubuh, peraga bahwa waktu tak akan pernah berhenti dan tak akan ada cerita jikalau jarum jam berputar melalui jalur kiri. Inilah pertanda bahwa waktu tak akan pernah bisa mundur untuk mengungkap masa lalu yang sudah terjadi.
“Sudah empat tahun kamu le, tidak pernah pulang”, emak pun menyilingkan wedang teh panas kedalam lepek untuk mendinginkan wedang yang panas.
“Kamu tahu le, pohon beringin di alun-alun kota semakin tua umurnya. Dulu emak masih kecil pohon itu masih baru di tanam”, sambung emak.
Aku dengan seksama mendengar apa yang diucapkan emak, menanti apa yang dimaksud pada perkataan emak. Memang sesampai aku dikota kelahiranku, bus yang aku tumpangi melewati alun-alun kota. Berdiri tegak pohon tua di tengah tengah alun-alun. Dua pohon beringin yang berjajar seperti dua tiang pintu rumah, menjadi mitos bahwa para pengunjung harus melewati dua pohon dan mengucapkan salam kepada pohon itu. Itulah cerita paklek Paimin ketika aku pertama kali berkunjung di alun-alun dan dituntun paklek untuk melewati dua pohon beringin tersebut. Dulu aku pun juga tak bertanya mengapa jikalau aku tak melewati pohon tersebut, apakah aka n ada bahaya yang menimpaliku. Sampai besar pun aku tak memiliki jawaban untuk menjawab pertanyaan waktu kecilku dulu. Kenapa harus melewati pohon beringin itu?.
“Iya mak, tadi waktu perjalanan pulang kerumah, aku melewati alun-alun. Pohon itu juga terlihat kokoh berdiri tegak, meskipun umurnya sudah tua.” Aku menimpali percakapan emak, setelah ku letakkan lepek wedang yang telah membasahi tenggorokanku.
Emak pun mengambil daun sirih, membentangnya di telapak tangan kiri. Meletakkan tembakau diatasnya, kemudian dilumuri dengan enjet diatas tembakau. Lalu, digulungnya daun sirih tersebut kemudian dikunyah oleh emak. Aku pun tak heran, jikalau di usia 75 tahun, gigi emak masih utuh. Aku pun teringat ketika dulu waktu aku mau berangkat sekolah, emak menyiapkan nasi dicampur dengan parutan kelapa dan dikasih garam terus ditambah sambal. Kata emak tunggu nasinya tidak panas, kashin gigimu nanti le. Bisa keropos. Gaya hidup orang dahulu sangat menjaga kesehatan. Tak pernah makan makanan yang ada bahan pengawetnya. Tak ayal banyak yang umurnya panjang.
 Sambil mengunyah sirih atau nginang dalam bahasa kami. Beberapa waktu kemudian emak pun meletakkan inangannya, mengusap bekas warna merah akibat nginang mak barusan.
“Kemaren le, dua minggu yang lalu warga desa ini ada yang meninggal. Tole ingat tidak waktu mak cerita dulu” emak pun menyeruput wedang yang sudah disilingkan di lepek.
“Mengenai cerita daun mati itu mak?, ingat kulo mak,” ku benahi posisi duduk ku yang kurang nyaman.
Sama seperti rumah tetangga kami yang lain, hanya beralaskan tanah, perabot kursi tamu hanya dari bambu (red: amben). Lampu pun tak pernah masuk ke desa kami, hanya damar oblek lah penerang rumah kami. Entah kenapa seakan pemerintah lalai bahwa kami juga ada. Tak sekalipun rumah kami didesa tersentuh oleh listrik ataupun barang elektronik seperti televise ataupun handphone. Hanya segelintir orang yang memiliki generator listrik, televise dan peralatan elektronik lainnya. Selama di rumah pun hp ku telah aku musiumkan di lemari. Dan bagaimana cara aku mengabari emak tentang keadaanku di kota, yah hanya melalui suratlah. Itupun menunggu empat hari dan paling cepat satu hari.
“Parman mati berbarengan dengan daun ringin jatuh ke tanah le,” ucap emak dengan serak.
Sungguh demi Allah, aku pun tak pernah percaya dengan namanya tahayul seperti itu, tak pernah masuk akal. Mana mungkin Allah menciptakan nyawa dengan ditentukan oleh daun. Kalau di logikakan, daun jatuh karena faktor alam, bukan karena pertanda kematian manusia. Kenapa kepercayaan warga mengenai mitos yang tak berdasar itu selalu ada. Ataukah faktor pendidikanlah yang menjadikan mitos itu adalah sebuah dewa bagi warga.
Emak, sudahlah. Kenapa emak terus mempertahankan mitos orang jawa seperti ini, kenapa kalau dari keluarga ada yang mati, harus memecah genteng diatas rumah. Dan kenapa emak stiap malam jumat legi harus menyediakan kopi pahit beserta pisang goreng di taruh dikamar bapak? Padahal bapak sudah meninggal mak. Juga kaena emak, melarang mbak menikah dengan seorang pria ragil. Mbak jadi gila, dia tak mau menikah dan frustasi sampai ahirnya mbak kabur dari pasungan yang mak lakukan padanya, dan mbak pun diperkosa orang kemudia dibunuh mak, dibunuh. Sekarang mak hubungkan lagi dengan daun jatuh?”. Dengan kesal ku langkahkan kaki keluar menuju sungai disebelah rumahku.
Aku pun tak habis pikir, kenapa masih ada orang yang kolot seperti emak. Dulu gara-gara emak mbak pun meregang nyawa. Sekarang dia mengungkit hal-hal aneh yang dulu sering aku dengar kalau pembicaraan itu adalah sebagai dogma bagi mereka. Memang setelah aku lulus dari SMA aku mendapatkan beasiswa di UGM, dan sampai sekarangpun aku tak pernah percaya bahwa mitos yang mereka percaya sebagai dogma pengganti agama adalah benar dan nyata terjadi. Terkadang, aku harus mengusap air mata, dulu pas aku SMA aku sering menentang adat yang dianut emak, apalagi ketika mbak Ela mau menikah. Aturan macam apa yang emak terapkan. Dan semua keluarga mendukung  dan meyakini apa yang emak perintah. Hanya aku dan mbak yang selalu membujuk emak, dan hari itupun terjadi ketika emak melontarkan sebuah perkataan kepada kami, lebih baik kalian yang mati dari pada aku yang harus mati karena menikahkan anak ku.
Dan nahas saat nyawa mbak meregang tanpa busana dan raganya pun tergletak tersungkur dalam kanal kecil persawahan, jasatnya ditemukan oleh tetangga ketika dia berangkat menuju sawah setelah adzan shubuh. Akupun mengurung diri di kamar selama kurun waktu tujuh hari, selama tujuh hari tahlilan aku tak mau keluar sama sekali. Makanan pun hanya di antar oleh kerabat dalam kamar. Dan selama itupun aku tak menganggap ibu adalah sosok yang melahirkanku, melainkan sosok pembunuh, iya. Pembunuh mbak Ela. Aku pun juga tak habis pikir, pernah aku bertanya kepada pak lek, agama apakah yang dianut oleh keluarga ini. Ya islam toh le, dengan tersentak jawaban paklek. Mungkin aneh bagi paklek ketika menrima pertanyaan dariku. Mungkin lebih tepatnya, agama kejawen semi Islami.
“Ingat mak, bukan karena kasus pemerkosaan yang membunuh mbak Ela, tapi emak yang tega membunuh mbak Ela”, suaraku membentak mak ketika aku keluar untuk pertama kali dari kamar.
Saat fikirku terbangun dari lamunanku mengingat masa lalu, aku tak setega itu untuk mengingat pil pahit kematian mbak, dan kenangan hitam ketika aku mati-matian menyalahkan emak. Aku sadar semua adalah takdir yng telah digariskan oleh Allah, tapi aku sudah berjanji tak mengingat semua itu. Iya, semua kejadian masa lalu yang terlalu pahit dalam keluargaku. Kejadian 6 tahun lalu  setelah bapak meninggalkan aku dengan emak dan mbak Ela. Menyusul arwah bapak.
Ku berdiri dari batuan besar yang membelah sungai, kuloncati batuan-batuan yang membentuk jembatan penyebrangan. Aku harus melupakan keadian itu, aku ingin mendinginkan emosiku. Ku langkahkan kaki ku menuju alun-alun kota, entah kenapa harus pusat kota itu yang aku tuju. Entah kenapa seperti ada sesuatu yang menarik kaki ku untuk menuju tempat itu. Ketika sampai diseberang jalan, akupun memberhentikan angkutan pedesaan dan menuju kota kecamatan dan pindah ke angkot untuk menuju alun-alun kota.
Hanya dua pohon beringin yang berjajar seperti seorang siswa SD berlatih PBB dalam pramuka, aku membandingkan gambaan alun-alun dengan anak SD tak lebih karena mitos-mitos konyol yang santer dibicarakan sampai abad sekarang. Hanya lelucon bagiku. Kebanyakan pengunjung yang datang, selalu melakukan ritual ini. Benar sebuah ritual nenek moyang kami pada waktu keraton sangat berpengaruh dalam pemerintahan, tapi sampai sekarang pun masih tetap dilakukan. Berjalan dengan jarak 10 meter dari kedua pohon beringin dengan menutup mata, barang siapa yang berhasil melewati kedua pohon itu, keinginannya akan tercapai.
Tahayul macam apa itu, dalam benakku pohon itu bukanlah dewa ataupun benda yang didewakan, karena mayoritas penduduk kota ini adalah muslim. Apalagi Tuhan, bukan. Tapi kenapa mereka dengan hidmat menjalankan mitos itu, inilah agama kejawen yang semi Islami.
Semakin siang alun-alun ini semakin sepi, pedagang asongan pun tak tampak. Dan hanya beberapa orang yang berjalan untuk memunguti sampah. Aku pun merasakan hawa dingin menjalar, aneh memang. Disiang bolong yang terik ini angin berhembus pelan tapi membikin bulu kuduk berdiri, tak hanya itu, kabut asap tipis pun menyelimuti kedua pohon beringin itu. Kelihatan mistik seperti dalam film-film horror yang sering ku tonton. Aku pun berjalan mendekati kedua pohon beringin itu, aku beranggapan ada kejadian alam yang menimbulkan kabut tipis bias mengelilingi pohon tersebut.
 Semakin kudekati kedua pohon tersebut, sesuatu hal yang aneh pun semakin kuat kurasakan. Semakin kudekati pohon itu, kabut semakin tebal, hanya daun yang hijau dan ranting yang menjalar dari atas. Semakin mendekat ada bisikan menjalar mengelilingi telingaku, suara yang datar seperti seorang melakukan paduan suara minor, dan gamelan jawa pun semakin bertabuhan menyambung dalam memperkeruh suasana batinku. Bulu kudukku pun tak bias diam, menjalar dalam semua lengkung tubuhku. Aku hanaya terdiam terpaku menikmati kekejaman aura magis ini.
Aku pun terpaku dalam diam ku, melihat sekitar pohon yang bersih. Tak ada sampah satu pun apalagi daun yang berguguran. Berbeda dari awal masuk alun-alun yang sana sini banyak sampah makanan yang berserakan dan daun-daun pohon yang berguguran. Tapi ini berbeda. Kulihat keatas, entah kenapa mata focus pada dedaunan. Aku hanya tercekat ketika satu daun jatuh, aku ingat perkataan emak, daun jatuh pertanda bahwa satu nya meninggal. Kenapa aku sekarang percaya kepada omongan emak. Kenapa dengan diriku, kenapa aku bergetar, ada apa? kenapa percaya dengan mitos itu. Aku pun terjatuh dan duduk bersimpuh merenungkan apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa aku harus tersesat dengan semua ini. Kemanakah kepercayaanku kepada Tuhan? Kemanakah dirimu ketika aku percaya pada selain diriMu.
Saku celanaku pun bergetar, aku ingat handphone. Masih belum tepecahkan semua ini, aku pun mengambil HP ku. Keanehan pun terjadi, semua Susana seram tadi menghilang dan kembali kesemula saat aku pertama kali datang ke alun-alun.
“Iya paklek, ada apa?” aku menjawab telpon dari paklek.
“Apa? emak meninggal? Benar kah paklek?” HP ku jatuh ke tanah.
Emak, daun itu jatuh pertanda kau meninggal mak!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar