Daun Mati
Ar Rozaq
Cicak itu
gemulai melangkahkan kaki yang menempel pada lapisan tembok bercat putih awan
itu, melangkah pelan mengendap-endap agar buruan didepan matanya masih dalam
jangkauan lidahnya. Ia merayap terus perlahan seakan dia tidak ingin
menimbulkan suara langkah kaki, dengan jangkauan begitu dekat dia mempercepat
langkah dan sekejap kedipan mataku dua ekor Laron telah hinggap dalam mulutnya.
Inilah kehidupan lingkungan binatang, hukum rimba terus mereka budayakan, siapa
yang kuat dia adalah pemenangnya.
Drama yang
diperankan oleh cicak membuat aku termenung sejenak dalam diam, inikah hukum
rimba yang hewan tunjukkan. Andaikan hukum itu kami terapkan untuk mengatasi
problematika bangsa, akankah kami tak lebih hina dari binatang?, iya benar. Tak
lebih bangsa kita adalah bangsa manusia terhormat yang berotak kan binatang,
lamunanku pun buyar ketika emak membawa secangkir wedang teh dan beberarpa
potong pisang goreng yang mengepulkan asap pertanda bahwa makanan ini baru
selesai dimasak.
“Dimakan le,
mumpung masih panas. Hujan-hujan seperti ini, lebih enak menikmati makanan yang
panas”, celetuk emak yang membuyarkan lamunanku.
“Iya mak,
terimakasih”. Jawabku sambil mengambil sepotong pisang goreng.
Emak pun duduk
disampingku, mengenakan jaket kepadaku yang dari tadi hanya mengenakan kaos
oblong dan sarung yang membalut tubuh bagian bawahku.
Denting jam pun
berbunyi seperti detak jantung yang memompa darah dalam tubuh, peraga bahwa
waktu tak akan pernah berhenti dan tak akan ada cerita jikalau jarum jam
berputar melalui jalur kiri. Inilah pertanda bahwa waktu tak akan pernah bisa
mundur untuk mengungkap masa lalu yang sudah terjadi.
“Sudah empat
tahun kamu le, tidak pernah pulang”, emak pun menyilingkan wedang teh panas kedalam
lepek untuk mendinginkan wedang yang panas.
“Kamu tahu le,
pohon beringin di alun-alun kota semakin tua umurnya. Dulu emak masih kecil
pohon itu masih baru di tanam”, sambung emak.
Aku dengan
seksama mendengar apa yang diucapkan emak, menanti apa yang dimaksud pada perkataan
emak. Memang sesampai aku dikota kelahiranku, bus yang aku tumpangi melewati
alun-alun kota. Berdiri tegak pohon tua di tengah tengah alun-alun. Dua pohon
beringin yang berjajar seperti dua tiang pintu rumah, menjadi mitos bahwa para
pengunjung harus melewati dua pohon dan mengucapkan salam kepada pohon itu.
Itulah cerita paklek Paimin ketika aku pertama kali berkunjung di alun-alun dan dituntun
paklek untuk melewati dua pohon beringin tersebut. Dulu aku pun juga tak
bertanya mengapa jikalau aku tak melewati pohon tersebut, apakah aka n ada
bahaya yang menimpaliku. Sampai besar pun aku tak memiliki jawaban untuk
menjawab pertanyaan waktu kecilku dulu. Kenapa harus melewati pohon beringin
itu?.
“Iya mak, tadi
waktu perjalanan pulang kerumah, aku melewati alun-alun. Pohon itu juga
terlihat kokoh berdiri tegak, meskipun umurnya sudah tua.” Aku menimpali
percakapan emak, setelah ku letakkan lepek wedang yang telah membasahi
tenggorokanku.
Emak pun mengambil
daun sirih, membentangnya di telapak tangan kiri. Meletakkan tembakau
diatasnya, kemudian dilumuri dengan enjet diatas tembakau. Lalu, digulungnya daun sirih tersebut kemudian
dikunyah oleh emak. Aku pun tak heran, jikalau di usia 75 tahun, gigi emak
masih utuh. Aku pun teringat ketika dulu waktu aku mau berangkat sekolah, emak
menyiapkan nasi dicampur dengan parutan kelapa dan dikasih garam terus ditambah
sambal. Kata emak tunggu nasinya tidak panas, kashin gigimu nanti le.
Bisa keropos. Gaya hidup orang dahulu sangat menjaga kesehatan. Tak pernah
makan makanan yang ada bahan pengawetnya. Tak ayal banyak yang umurnya panjang.
Sambil mengunyah sirih atau nginang
dalam bahasa kami. Beberapa waktu kemudian emak pun meletakkan inangannya,
mengusap bekas warna merah akibat nginang mak barusan.
“Kemaren le,
dua minggu yang lalu warga desa ini ada yang meninggal. Tole ingat tidak waktu
mak cerita dulu” emak pun menyeruput wedang yang sudah disilingkan di lepek.
“Mengenai
cerita daun mati itu mak?, ingat kulo mak,” ku benahi posisi duduk ku
yang kurang nyaman.
Sama seperti
rumah tetangga kami yang lain, hanya beralaskan tanah, perabot kursi tamu hanya
dari bambu (red: amben). Lampu pun tak pernah masuk ke desa kami, hanya damar
oblek lah penerang rumah kami. Entah kenapa seakan pemerintah lalai bahwa
kami juga ada. Tak sekalipun rumah kami didesa tersentuh oleh listrik ataupun
barang elektronik seperti televise ataupun handphone. Hanya segelintir orang
yang memiliki generator listrik, televise dan peralatan elektronik lainnya.
Selama di rumah pun hp ku telah aku musiumkan di lemari. Dan bagaimana cara aku
mengabari emak tentang keadaanku di kota, yah hanya melalui suratlah. Itupun
menunggu empat hari dan paling cepat satu hari.
“Parman mati
berbarengan dengan daun ringin jatuh ke tanah le,” ucap emak dengan serak.
Sungguh demi
Allah, aku pun tak pernah percaya dengan namanya tahayul seperti itu, tak
pernah masuk akal. Mana mungkin Allah menciptakan nyawa dengan ditentukan oleh
daun. Kalau di logikakan, daun jatuh karena faktor
alam, bukan karena pertanda kematian manusia. Kenapa kepercayaan warga mengenai
mitos yang tak berdasar itu selalu ada. Ataukah faktor pendidikanlah yang
menjadikan mitos itu adalah sebuah dewa bagi warga.
“Emak, sudahlah. Kenapa emak terus
mempertahankan mitos orang jawa seperti ini, kenapa kalau dari keluarga ada
yang mati, harus memecah genteng diatas rumah. Dan kenapa emak stiap malam
jumat legi harus menyediakan kopi pahit beserta pisang goreng di taruh
dikamar bapak? Padahal bapak sudah meninggal mak. Juga kaena emak, melarang
mbak menikah dengan seorang pria ragil. Mbak jadi gila, dia tak mau
menikah dan frustasi sampai ahirnya mbak kabur dari pasungan yang mak lakukan
padanya, dan mbak pun diperkosa orang kemudia dibunuh mak, dibunuh. Sekarang
mak hubungkan lagi dengan daun jatuh?”. Dengan kesal ku langkahkan kaki keluar
menuju sungai disebelah rumahku.
Aku pun tak
habis pikir, kenapa masih ada orang yang kolot seperti emak. Dulu gara-gara
emak mbak pun meregang nyawa. Sekarang dia mengungkit
hal-hal aneh yang dulu sering aku dengar kalau pembicaraan itu adalah sebagai
dogma bagi mereka. Memang setelah aku lulus dari SMA
aku
mendapatkan beasiswa di UGM, dan sampai sekarangpun aku tak pernah percaya
bahwa mitos yang mereka percaya sebagai dogma pengganti agama adalah benar dan
nyata terjadi. Terkadang, aku harus mengusap air mata, dulu pas aku SMA aku
sering menentang adat yang dianut emak, apalagi ketika mbak Ela mau menikah.
Aturan macam apa yang emak terapkan. Dan semua keluarga mendukung dan meyakini apa yang emak perintah. Hanya
aku dan mbak yang selalu membujuk emak, dan hari itupun terjadi ketika emak
melontarkan sebuah perkataan kepada kami, lebih baik kalian yang mati dari pada
aku yang harus mati karena menikahkan anak ku.
Dan nahas saat
nyawa mbak meregang tanpa busana dan raganya pun tergletak tersungkur dalam
kanal kecil persawahan, jasatnya ditemukan oleh tetangga ketika dia berangkat
menuju sawah setelah adzan shubuh. Akupun mengurung diri di kamar selama kurun waktu
tujuh hari, selama tujuh hari tahlilan aku tak mau keluar sama sekali. Makanan
pun hanya di antar oleh kerabat dalam kamar. Dan selama itupun aku tak
menganggap ibu adalah sosok yang melahirkanku, melainkan sosok pembunuh, iya.
Pembunuh mbak Ela. Aku pun juga tak habis
pikir, pernah aku bertanya kepada pak lek, agama apakah yang dianut
oleh keluarga ini. Ya islam toh le, dengan tersentak jawaban paklek. Mungkin aneh
bagi paklek ketika menrima pertanyaan dariku. Mungkin lebih tepatnya, agama
kejawen semi Islami.
“Ingat mak,
bukan karena kasus pemerkosaan yang membunuh mbak Ela, tapi emak yang tega
membunuh mbak Ela”, suaraku membentak mak ketika aku keluar untuk pertama kali
dari kamar.
Saat fikirku
terbangun dari lamunanku mengingat masa lalu, aku tak setega itu untuk
mengingat pil pahit kematian mbak, dan kenangan hitam ketika aku mati-matian
menyalahkan emak. Aku sadar semua adalah takdir yng telah digariskan oleh
Allah, tapi aku sudah berjanji tak mengingat semua itu. Iya, semua kejadian
masa lalu yang terlalu pahit dalam keluargaku. Kejadian 6 tahun lalu setelah bapak meninggalkan aku dengan emak
dan mbak Ela. Menyusul arwah bapak.
Ku berdiri dari
batuan besar yang membelah sungai, kuloncati batuan-batuan yang membentuk
jembatan penyebrangan. Aku harus melupakan keadian itu, aku ingin mendinginkan
emosiku. Ku langkahkan kaki ku menuju alun-alun kota, entah kenapa harus pusat
kota itu yang aku tuju. Entah kenapa seperti ada sesuatu yang menarik kaki ku untuk
menuju tempat itu. Ketika sampai diseberang jalan, akupun memberhentikan
angkutan pedesaan dan menuju kota kecamatan dan pindah ke angkot untuk menuju
alun-alun kota.
Hanya dua pohon
beringin yang berjajar seperti seorang siswa SD berlatih PBB dalam pramuka, aku
membandingkan gambaan alun-alun dengan anak SD tak lebih karena mitos-mitos
konyol yang santer dibicarakan sampai abad sekarang. Hanya lelucon bagiku.
Kebanyakan pengunjung yang datang, selalu melakukan ritual ini. Benar sebuah
ritual nenek moyang kami pada waktu keraton sangat berpengaruh dalam
pemerintahan, tapi sampai sekarang pun masih tetap dilakukan. Berjalan dengan
jarak 10 meter dari kedua pohon beringin dengan menutup mata, barang siapa yang
berhasil melewati kedua pohon itu, keinginannya akan tercapai.
Tahayul macam
apa itu, dalam benakku pohon itu bukanlah dewa ataupun benda yang didewakan,
karena mayoritas penduduk kota ini adalah muslim. Apalagi Tuhan, bukan. Tapi
kenapa mereka dengan hidmat menjalankan mitos itu, inilah agama kejawen yang
semi Islami.
Semakin siang
alun-alun ini semakin sepi, pedagang asongan pun tak tampak. Dan hanya beberapa
orang yang berjalan untuk memunguti sampah. Aku pun merasakan hawa dingin
menjalar, aneh memang. Disiang bolong yang terik ini angin berhembus pelan tapi
membikin bulu kuduk berdiri, tak hanya itu, kabut asap tipis pun menyelimuti
kedua pohon beringin itu. Kelihatan mistik seperti dalam film-film horror yang
sering ku tonton. Aku pun berjalan mendekati kedua pohon beringin itu, aku
beranggapan ada kejadian alam yang menimbulkan kabut tipis bias mengelilingi
pohon tersebut.
Semakin kudekati kedua pohon tersebut, sesuatu
hal yang aneh pun semakin kuat kurasakan. Semakin kudekati pohon itu, kabut
semakin tebal, hanya daun yang hijau dan ranting yang menjalar dari atas.
Semakin mendekat ada bisikan menjalar mengelilingi telingaku, suara yang datar
seperti seorang melakukan paduan suara minor, dan gamelan jawa pun semakin
bertabuhan menyambung dalam memperkeruh suasana batinku. Bulu kudukku pun tak
bias diam, menjalar dalam semua lengkung tubuhku. Aku hanaya terdiam terpaku
menikmati kekejaman aura magis ini.
Aku pun terpaku
dalam diam ku, melihat sekitar pohon yang bersih. Tak ada sampah satu pun
apalagi daun yang berguguran. Berbeda dari awal masuk alun-alun yang sana sini
banyak sampah makanan yang berserakan dan daun-daun pohon yang berguguran. Tapi
ini berbeda. Kulihat keatas, entah kenapa mata focus pada dedaunan. Aku hanya
tercekat ketika satu daun jatuh, aku ingat perkataan emak, daun jatuh pertanda
bahwa satu nya meninggal. Kenapa aku sekarang percaya kepada omongan emak.
Kenapa dengan diriku, kenapa aku bergetar, ada apa? kenapa percaya dengan mitos
itu. Aku pun terjatuh dan duduk bersimpuh merenungkan apa sebenarnya yang
terjadi. Kenapa aku harus tersesat dengan semua ini. Kemanakah kepercayaanku
kepada Tuhan? Kemanakah dirimu ketika aku percaya pada selain diriMu.
Saku celanaku
pun bergetar, aku ingat handphone. Masih belum tepecahkan semua ini, aku pun
mengambil HP ku. Keanehan pun terjadi, semua Susana seram tadi menghilang dan
kembali kesemula saat aku pertama kali datang ke alun-alun.
“Iya paklek,
ada apa?” aku menjawab telpon dari paklek.
“Apa? emak
meninggal? Benar kah paklek?” HP ku jatuh ke tanah.
Emak, daun itu
jatuh pertanda kau meninggal mak!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar