Rabu, 10 Juni 2015

FAKTA SOSIAL SASTRA SEBAGAI MODEL PENULISAN KREATIF SASTRA (Telaah Unsur Fakta Sosial Sastra dalam Novel “Sang Patriot”)



FAKTA SOSIAL SASTRA SEBAGAI MODEL PENULISAN KREATIF SASTRA
(Telaah Unsur Fakta Sosial Sastra dalam Novel “Sang Patriot”)

Novan Cahya Dwi M. (2130710026)
 Novan.cayadwi@yahoo.co.id                                                                                                                                                               
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang

Abstrak
Fakta sosial sastra merupakan fakta-fakta yang menunjukkan system produksi sastra secara sosiologis. Untuk memahami sastra sebagai fakta sosial sastra, ada delapan aspek yang menjadi elemen fakta sosial sastra, yaitu: (1) populasi dan angkkatan sastra; (2) domisiili kepengarangan; (3) kehidupan ekonomi pengarang; (4) status sosial pengarang: (5) institusi publikasi: (6) sirkuit sastra; (7) konsumsi sastra, dan; (8) ahli sastra

Kata Kunci: Fakta Sosial Sastra, Penulisan Kreatif, dan Sastra

 A. Pendahuluan                                                
Kreativitas penulisan karya sastra Indonesia semakin beragam dengan berbagai pendekatan. Semua pendekatan tersebut digunakan untuk menyampaikan kesan pengalaman dan pengetahuan berdasarkan ideologi yang dicita-citakan. Salah satu pendekatan yang digunakan ialah fakta sosial sastra. Irma Devita dalam novel Sang Patriot merupakan contoh dari novel fakta sosial sastra yang berkembang dalam penulisan novel di Indonesia.
Fakta sosial sastra merupakan fakta-fakta yang menunjukkan system produksi sastra secara sosiologis. Fakta sastra hanya biasa dipahami secara objektif berdasarkan fakta sosial yang melingkupinya. Untuk memahami sastra sebagai fakta sosial sastra, escarpit (2008) mengemukakan delapan aspek yang menjadi elemen fakta sosial sastra, yaitu: (1) populasi dan angkkatan sastra; (2) domisiili kepengarangan; (3) kehidupan ekonomi pengarang; (4) status sosial pengarang: (5) institusi publikasi: (6) sirkuit sastra; (7) konsumsi sastra, dan; (8) ahli sastra. Kedeelapan elemen tersebut adalah fakta sosial untuk memahami sastra secara objektif.
B. Sejarah Perkembangan Fakta Sosial Sastra
Perkembangan teori sosial sastra di prancis pasca-Goolmann justru mengarah pada aspek sosial-ekonomis yang lebih kompleks dan berkencenderung kuantitatif.Satra dalam konsepsis yang umum, dianggap tidak sekedar sebagai bagian dari kenyataan sosial, tetapi juga sebagai fakta sosial yang kompleks. Robert Escarpit (2008) sastra Escarpit berada dalam pengaruh mendasar strukturalisme-genetik yang dicetuskan Godmann dengan titik tumpu pada karakter kolektif sastra sebagai proyeksi pandangan mental masyarakat; juga pandangan Vadimir Jdanov yang menegaskan bahwa sastra terhubung secara absolut dengan kehidupan sosial, sastra latar belakang sejarah dan kehidupan sosial pengarang; selain pengaruh dari Ronald Barthes tentang teks sebagai ce;ah menyusupnya unsure-unsur sosiologis dalam sastra dan Jean-Paul Sastre yang menegaskan bahwa eksistensi sastra ada pada proses komunikasi dan keterbacaan secara sosial.
           
Escarpit (2008) menegaskan posisi sastra sebagai sebuah fakta sosial yang khas.Sastra sendiri harus menerima realitas pengaruh sosial da ekonomi dalam dirinya.Dalam perspektif sosiologis yang dikemukakan Escarpt, sastra, mengandung dua bentuk fakta, yaitu fakta sastra atau alat ukur faktual tentang eksistensi sastra dan fakta sosial sastra atau fakta-fakta yang menunjukkan system produksi sastra secara sosiologis. Dua aspek tersebut adalah bagian mendasar dari teori sisal sastra yang dikemukakan Escarpit.
C. Bentuk Fakta Sosial Sastra Dalam Novel
Escarpit menghubunhkan sastra dalam dimensi yang lebih kompleks daripada yang dikemukakan Goldmann. Fakta sastra hanya biasa dipahami secara objektif berdasrkanfakta sosial yang melingkupinya. Untuk memahami sastra sebagai fakta sosial sastra, escarpit (2008) mengemukakan delapan aspek yang menjadi elemen fakta sosial sastra, yaitu:
(1)   Populasi dan Angkkatan Sastra
Populasi sastra yang dimaksud escarpit adalah terkait dengan kepengarangan dan katalog karya sastra. Escarpit (2008) mengajukan dua jalan untuk megetahui populasi sastra, pertama, yaitu dengan mendata semua pengarang buku sastra yang diterbitkan (baik melalui percakapan maupun dengan cara terbit lain); kedua,  dengan mengambil indeks buku pelajaran sejarah sastra yang dilegitimasi secara kualitatif. Meskipun demikian, Escarpit, lebih mengutamakan pengamatan populasi sastra berdasarkan indeks secara kritis.melalui indeks buku pelajaran sastra, akan dapat dengan objektif diamati pertumbuhan jumlah pengarang, terutama pada waktu penyusunan buku sastra dan proporsi pengarang yang dikutip.
(2)   Domisiili Kepengarangan
Domisili kepengarangan adalah konsep fakta sastra berdasarkan wilayah kelahiran pengarang. Fakta sosial sastra dari pengarang adalah dengan menempatkan pengarang kedalam masyarakatnya.inti di kemukakan escarpit adalah bagaimana mengemukakan sebuah sifat kolektif dalam kasus individual pengarang.escarpit menunjuk hasil pemetaan sastra prancis yang di lakukan oleh dupuy dan ferre.pemetaan pertama menunjukan pada periode 1490-1580 para pengarang ternama perancis seperti-madurin reigner dan rebelaise muncul dari wilayah wilayah kerajaan seperti normandia,loire,aunis,dan saintonge.dalam periode 1580-1650 muncul pengarang seperti racan dan la beruyere,yang berasal dari wilayah paris dan roun.pada periode 1650-1729 muncul pengarang seperti fenelone dan D’Alembret,yang berasal dari wilayah pedesaan seperti Bretagne dan midi.dalam periode 1720-1790 muncul pengarang seperti marmontel dan lamrtine,yang berasal dari wilayah zona akademik tourz,Grenoble, dan kususnya Dijon.pada periode 1790-1860 muncul pengarang seperti scribe dan jules laforgue,yang berasal dari zona produktif yang padat penduduk, yaitu marsiele, bordeoux ,lyon.pada perode 1860-1900 muncul pengarang seperti bares dan saint-exsupery, yang berasal dari wilayah perkotaan dengan kualitas universitas universitas yang baik, yaitu daerah toulose, nice, nancy, dan caen.
(3)   Kehidupan Ekonomi Pengarang
Kehidupan ekonomi pengarang adalah bagian penting dari fakta sosal sastra yang di kemukakan oleh escarpit.Fakta sosial sastra juga bertumpu pada masalah biaya hidup pengarang sebagai manusia. Ada dua cara pengarang memenuhi kebutuhan hidupnya, menurut escarpit yaitu: pembiayaan inernal dengan hak cipta dan pembiayaan external baik dari sponsor atau dari usaha sendiri. Escarpit menyebut secara spesifik istilah”mejenat” atau sponsor karena terkait dengan struktur sosial yang memosisikan pengarang. Mejenat adalah semacam bantuan Negara atau lembaga pemerintah berupa tunjangan resmi. Di prancis terdapat majenat seperti “poete laureate” untuk penyair teremuka atau “historio grapehe du roi “ atau penulis cerita rakyat yang di angkat oleh raja prancis. Kehidupan ekonomo pengarang juga terkait dengan status sosial pengarang. Escarpit menggunakan bentuk asosiasi-asosiasi pemerintah dan hukum-hukum yang berpihak pada pengarang seperti hak cipta dan royaliti.Honore Balzac menerima kontrak dari penerbit hedzel untuk karyanya komidie humaine sebanyak loma puluh centimes dari setiap buku yang terjual.Bahkan Balzac menerima 30.000 frank.Situasi ekonomi pengarang di anggap sangat penting untuk memahami fakta sosial sastra, terutama untuk mengukur posisi sosial sastrawan sebagai sebuah profesi.
(4)   status sosial pengarang
(5)   Institusi Publikasi
Institusi publikasi adalah bagian dari fakta sosial sastra yang di kemukakan oleh escarpit.Istilah publikasi digunakan escarpit untuk keluar dari keterbatasan tentang sebuah penerbitan.Sastra tidak menggunakan penerbitan sebagai satu-satunya media produksi. Radio, televise, adovisual, atau dalam konteks kontemporer (yang belum di sebut escarpit) adalah intered melalui blog-blog dan webisite adalah media publikasi sastra. Konsep publikasi di kemukakan cara semantic filosofis sebagai “penyerahan” karya pada public atau masyarakat. Publikasi sastra, dengan media apapun adalahbagian mendasar ketika sastra tersebut berpindah dari fakta individual menjadi fakta sosial.
(6)   Sirkuit Sastra
            Fakta sosial sastra lain yang dikemukakan oleh Escarpit adalah “sirkuit sastra”. Escarpit (2008:84) menjustifikasi bahwa tidak ada hubungan langsung, secara kausalitas, antara lain sebuah buku sastra dengan besarnya jumlah masyarakat, tetapi terdapat hubungan eksistensial antara buku sastra dengan keberadaan masyarakat. Meskipun sebuah buku sastra diterbitkan dalam masyarakat yang banyak buta huruf atau tidak mempunyai minat baca yang baik, maka buku sastra tersebut mempunyai batas sirkuit yang sempit.
(7)   Konsumsi Sastra
Aspek lain yang dikemukakan oleh escarpit adalah konsumsi sastra. Konsumsi sastra, dalam bayangan escarpit dipengaruhi oleh kehadiran masyarakat dalam proses penulisan buku sastra oleh pengarang. Pengarang mempunyai public yang hadir dalam pikirannya. Kesenjangan antara pengarang dan masyarakat itulah yang menjadi fakta sosial sastra. Menurut escarpit (2008:116), suatu buku sastra dianggap fungsional secara sosial jika dalam masyarakat yang diajak berdialog oleh pengarang tidak terjadi kesenjangan dialogis. Buku sastra tersebut dapat meyakinkan, member tahu,menyadarkan, menghibur,ataupun membebaskan masyarakat dari problema kehidupannya. Untuk mencapai fungsi sosial tersebut, selain pendidikan dan pemahaman pembaca, escarpit menunjuk factor kesamaan budaya sebagai aspek yang fundamental. Dengan kesamaan budaya, maka ada kenyataan yang dapat diyakini bersama dalam sebuah karya sastra. Sebagai contoh, kesenjangan dalam kesamaan budaya pada kasus karya Shakespeare yang menggunakan hantu  dan tukang sihir dalam karya-karyanya yang sangat relevan dengan system keyakinan sosial pada masyarakat zamannya. Tetapi, kesenjangan sosial akan terjadi antara karya Shakespeare dengan masyarakat barat abad dua puluh, karena para intelektual barat sangat tidak percaya dengan hantu dan eksistensi tukang sihir. Situasi serupa terjadi dengan fenomena seksualitas yang diangkat oleh pengarang-pengarang perempuan di Indonesia era 1998-2005.
(8)   Ahli Sastra
Terakhir, escarpit menunjuk posisi ahli sastra sebagai bagian dari fakta sosial sastra. Ahli sastra adalah sebuah bentuk spesifikasi seseorang untuk memberikan pendedahan teks (explication de texte). Meskipun demikian, tugas ahli sastra dan konsumen sastra sangat berbeda. Ahli sastra adalah seseorang yang mempunyai kemampuan teoretis dalam membuat penilaian sastra. Sementara, konsumen sastra adalah pembaca yang diarahkan oleh selera dan ia membaca sastra  berdasarkan pengalaman seleranya, bukan untuk melakukan penilaian.penilaian sastra, sangat terkait dengan pembawaan khas sebuah kelas atau kelompok sosial. Escarpit (2008:135) menunjuk kasus kelompok “secondaires” di prancis memaksakan penilain ahli sastranya pada konsumen sastra, dengan ancaman hukuman moral atau justifikasi sebagai konsumen “selera rendah” jika membaca buku sastra yang tidak direkomendasikan oleh ahli sastra mereka. Posisi ahli sastra sendiri, dapat berkoeksistensi dan memotivasi konsumen untuk membaca buku sastra,meskipun dapat juga timbul ketidaksesuaian antara keduanya. Posisi ahli sastra ataupun kritikus sastra di Indonesia masih kurang berperan terhadap sirkuit sastra. Beberapa kritikus sastra hanya berperan dalam lingkup akademik yang terbatas alih-alih menjadi bagian dari sudut pandang masyarakat memahami kualitas sebuah karya sastra.
D. Fakta Sosial Sastra dalam Novel “Sang Patriot; Sebuah Epos Kepahlawanan” Karya: Irma Devita.
            Terlahir sebagai anak kedua, buah cinta dari ayah seorang pedagang yang berjiwa sederhana bernama Hasan dan Amni, ibunda berparas rupawan dan teguh hatinya, Mochamad Sroedji (lahir,1 Februari 1915) tumbuh menjadi anak yang cerdas, jujur dan penuh dengan semangat serta cita-cita. Masa kecil Sroedji dilingkupi oleh suasana keterbatasan karena penjajahan Belanda. Kemiskinan dan tekanan hidup yang dialami oleh rakyat sekitar rumahnya mendidik Sroedji menjadi anak yang memiliki empati besar dan semangat juang yang senantiasa berkobar. Dari sana, ia mengutip sifat-sifat luhur kesetia kawanan dan ketabahan. Salah satunya dari sahabat masa kecilnya Kardjo yang tewas disiksa anak-anak keturunan Belanda. Peristwa yang memantik pertama kali amarahnya terhadap penjajahan.
Tekadnya untuk bisa bersekolah di Hollands Indische School (HIS) sekolah yang pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Van Heurtz mengeluarkan kebijakan harus bercorak sifat kebelandaan dengan bahasa pengantar Belanda dan hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari golongan ningrat terwujudkan karena kegigihan Sroedji kecil mendesak orang tuanya dan berkat pertolongan sang pakde Pusponegoro yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa. Lulus dari HIS tak membuatnya puas menimba ilmu, Sroedji remaja ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi di Ambactsleergang yakni sekolah kejuruan bidang pertukangan (sekolah teknik) dan sempat membuat Hasan sang ayah tidak setuju. Namun, dengan kelembutan Amni ibunda Sroedji, akhirnya meski dengan berat hati Hasan mengizinkan Sroedji tetap di tanah air demi mengejar cita-citanya saat ia dan istri serta semua saudara Sroedji berangkat untuk melaksanakan ibadah haji ke tanah suci.
Pada tanggal 28 September 1939, Sroedji menikah dengan Rukmini seorang wanita manis dan cerdas dari Bangkalan, putri dari seorang guru OSVIA (sekolah calon pamong pradja) bernama Mas Tajib Nitisasmito. Sebelum menikah, Rukmini pernah bersekolah di HIS Sampang, ia dikenal sebagai seorang perempuan yang cerdas, memiliki semangat belajar yang tinggi dan cita-cita menjadi seorang ahli hukum. Wanita cendekia ini selalu mendapat nilai tertinggi di kelas, bahkan melebihi anak-anak keturunan Belanda seangkatannya. Sayang sekali, karena pandangan kolot masyarakat serta kondisi politik  di masa itu dimana perempuan tak memiliki banyak kesempatan untuk mendapat pendidikan sesuai keinginan hatinya, akhirnya cita-cita Rukmini untuk dapat melanjutkan studi ke MULO atau AMS agar dapat mendapatkan jalan menuju fakultas hukum di Universitas Leiden untuk meraih gelar Meester in de Rechten serupa wanita idolanya Maria Ulfa Subadio harus terhenti karena tak sanggup melawan kehendak ayahnya yang memasukannya ke sekolah keputrian Van de Venter di Keputren Mangkunegaran.
Di sekolah keputrian itu, Rukmini belajar ilmu hitung, ilmu bumi, sejarah, bahasa Belanda, kedisiplinan dan norma-norma keraton. Ia juga belajar berbagai keterampilan seperti menari, mocopat, tembang jawa, menjahit, menyulam dan merenda. Sungguh jauh dari jalur yang semula diidamkannya. Namun belajar tentang apapun dan dimanapun akan selalu mendatangkan manfaat besar bagi sesiapa yang menghargainya, dan Rukmini adalah wanita yang sangat menjunjung tinggi ilmu apapun bentuknya. Kelak, ilmu yang Rukmini dapatkan di sekolah keputrian ini banyak menolongnya di masa-masa sulitnya. Pernikahan Sroedji dan Rukmini membuahkan empat cahaya mata, putra putri yang semakin menambah kebahagiaan mereka. Namun ambisi orang-orang yang jauh dan tak berhubungan sama sekali dengan keluarga bahkan bangsanya telah mengubah keadaan mereka.
Ambisi Jepang untuk menguasai Asia Raya perlahan tapi pasti membuat keadaan tak lagi sama. Pada tahun  1942, tentara Nippon mendarat di bumi Indonesia dan mulai menebar bencana. Berkedok sebagai saudara tua yang harus dihormati dan dibela, dan membantu mengusir penjajah Belanda, tentara Jepang menjelma penjajah baru yang menista bangsa kita. Namun keberhasilan Jepang memperlebar sayap kemenangannya di berbagai belahan Asia tak berusia panjang. Pada akhir 1942  tentara Sekutu berhasil menaklukan Jepang di berbagai negara jajahannya seperti Cina, Korea, Philipina, Singapura, Birma dan sekitarnya. Untuk menghadapi ancaman musuh Eropa dan Amerikanya, tentara Jepang membentuk berbagai organisasi kepemudaan seperti PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), Jawa Hokokai, Gerakan Kebaktian Rakyat Jawa, Seinendan (Barisan Militer Pemuda), Heiho (Barisan militer pemuda usia belasan tahun) serta keibodan (kepolisian). Mereka merekrut dan melatih pemuda-pemuda Indonesia yang akan dikirim ke garis depan membantu pasukan Jepang yang telah kekurangan tenaga dan kewalahan menghadapi serangan tentara Sekutu. Namun, sebagai bangsa yang pernah dijajah berabad lamanya, dan menyadari bahwa tak memiliki kekuatan militer adalah salah satu faktor terbesar kegagalan usaha merebut kemerdekaan mereka selama ini, maka beberapa tokoh pejuang menerbitkan gagasan untuk memanfaatkan situasi keterdesakan pasukan Jepang atas serangan musuh-musuhnya ini. Menjadikan tentara Jepang, musuh kemerdekaan mereka sebagai guru militer adalah strategi cemerlang bagi bangsa yang telah dirampas segala-galanya. Maka seorang pejuang bernama Gatot Mangunpradja mengusulkan pembentukan tentara sukarela Pembela Tanah Air melalui secarik surat kepada Gunseikan pada tanggal 7 September 1943.
Tak memerlukan waktu lama, usulanpun diterima oleh petinggi tentara Jepang. Pada tanggal 3 Oktober 1943, berdasarkan Osamu Seirei (dekrit) Nomor 44 lahirlah Pembela Tanah Air (PETA) dengan pemusatan latihan di Bogor. Dan dua belas hari kemudian, terkumpullah 856 kadet PETA dari berbagai daerah asalnya, berdiri dalam posisi siaga, siap menerima pendidikan militer untuk membela tanah airnya. Adalah Mochamad Sroedji seorang mantri kesehatan (mantri malaria) dari RS Kreongan Jember menjadi salah satu diantara mereka. Mendapatkan do’a restu dari orang tua dan istri serta anak-anak adalah kekuatan besar bagi Sroedji untuk mewujudkan hasrat kejuangan yang telah tumbuh di sejak masa kecilnya. Baginya, kemerdekaan adalah harga mati yang harus diberikan untuk anak cucu dan bangsanya jika tak ingin selamanya diperbudak penjajahan. Di lapangan Ikada, pada 8 Desember 1943, Mochamad Sroedji dalam balutan seragam tentara PETA  dilantik dengan pangkat chuudanchoo. Sejak itu, dimulailah hari-hari penuh perjuangan dan pengorbanan Mochamad Srodji sebagai seorang tentara nasional. Hingga menemui syahidnya pada tanggal 8 Februari 1949, di desa Karang Kedawung dalam dekap  do’a rakyat yang dicintainya.






(1)Angkkatan Sastra
Kebanyakan seorang sastrawan menceritakan atau menulis novel sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi berbeda dengan seorang penulis novel barnama Irma Devita yang menulis sejarah sebagai bahan novelnya. Artinya dalam diri Irma devita ada perasaan nasionalisme yang sangat besar, sehingga karya yang di tulis menganut unsur sejarah yang membuat penikmat karya sastra tidak lupa akan asal usul terbentuknya Negara ini. Cerita yang di tulis merupakan sebuah cerita yang bersumber dari kisah nyata yang di ceritakan oleh kakek Irma Devita yang bernama Letkol.Mochammad Sroedji.
(2) Domisiili Kepengarangan
            Domisili pengarang adalah salah satu factor penting dari karya yang di tulis, dengan demikian akan jelas latar belakang penulis dan pengalaman apa yang ia miliki. Ketika seorang pengarang berasal dari desa dan menempuh pendidikan di kota besar, maka dalam karya yang ia tulis akan menuangkan dua perbedaan antara budaya kota dan budaya desa.
(3) Kehidupan Ekonomi Pengarang
            Kehidupan ekonomi pengarang sangat berpengaruh, atau bergantung pada karya sastra yang ia tulis, ketika karya yang di tulis mendapat respon positif dari penikmat sastra atau konsumen karya sastra, maka kehidupan ekonomi pengarang akan semakin meningkat, dengan adanya royalti dari sponsor dan hak cipta.
(4) Status Sosial Pengarang
            Kehidupan sosial pengarang juga dipengaruhi oleh ekonomi pengarang. Begitu pula kehidupan sosial Irma Devita penulis novel Sang Patriot,  yang menjadikannya dia dihormati dan di segani karena taraf hidup yang sejahtera dan strata sosialnya meningkat.
(5) Institusi Publikasi
            Institusi publikasi di gunakan untuk mengenalkan karya sastra yang di tulis kepada masyarakat awam melalui radio, tv, Koran, majalah, dan internet. Irma devita yang berprofesi sebagai praktisi hukum, menggunakan institusi publikasi tv sebagai alat pengenalan karyanya kepada masyarakat.
(6) Sirkuit Sastra
            Sirkuit sastra akan sangat berpengaruh pada kelansungan penulis dalam berkarya. Irma devita akan sangat di untungkan, karena ia berada di Jakarta sebagai tempat domisilinya saat ini, yang notabennya mayoritas penduduknya paham baca tulis.
(7) Konsumsi Sastra
            Karya Irma devita menyadarkan kita akan rasa nasionalisme yang mulai luntur di kalangan pemuda, dengan bukunya ini menyadarkan kita bahwa perjuangan para pahlawan harus kita lanjutkan dengan cara mengharumkan nama bangsa di mata internasional. Buku Irma devita ini akan di terima oleh semua kalangan, mulai dari rakyat jelata, sampai darah birupun akan menerimanya sebagai sebuah pesan moral kebangsaan.
(8) Ahli Sastra
            Sang patriot, menurut Ayu Diah Pasha semangat dan cinta akan muncul setelah membaca buku sang patriot karya Irma Devita ini.






















Daftar Pustaka
Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm 239-250.
Devita, Irma.2014. Sang Patriot. Jakarta: Inti Dinamika Publishers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar