MAKALAH
GENETIKA SOSIAL SASTRA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Teori Sosial Sastra
Dosen
Pengampu : Moh.
Badrih,M.Pd

Oleh
:
M. Fadlulloh ArRozaq (2130710005)
M. Fadlulloh ArRozaq (2130710005)
Lovi Adekyanti (213071000
)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
ISLAM MALANG
NOPEMBER
2014
Kata Pengantar
Tiada
kata yang dapat saya sampaikan kecuali rasa syukur kehadirat Allah SWT hingga
saat ini saya diberikan kesempatan untuk dapat menulis sebuah makalah ini,
hanya karena rahmat yang diberikan-Nya kami dapat merangkai makalah ini hingga
selesai. Apapun yang kami sajikan semoga selalu bermanfaat bagi para
pembacanya.
Pada
makalah ini, kami dapat sampaikan mengenai nilai-nilai otentik yang tidak termanivestasi
secara eksplisit dalam novel secara menyeluruh. Tetapi, bukan berarti bahwa
nilai-nilai otentik bersifat spesifik. Pembahasan nilai-nilai dalam ilmu social
sastra adalah kental dengan teori-teori orang barat, yang mana dalam makalah
ini membahas dari awal seperti apa hazanah keilmuan sastra di Indonesia
mengadaptasi ilmu dunia barat. Dan makalah ini kami beri judul “Genetika Sosial Sastra”.
Selesainya
penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada
kesempatan ini saya sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
Bapak M. Badrih, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah ilmu sosial sastra
Kedua orang tua kami yang selalu menyertai langkah kami dengan doa
Dan kepada rekan rekan yang berkat
dukungan merekamakalah ini selesai seperti yang kami harapkan
Kami
sangat menyadari, makalah kami masih banyak kekurangan baik isi materi maupun
teknik penulisan, oleh sebab itu, kritik, saran dan pendapat dari pembaca
sangat kami harapkan sebagai bekal pembenahan makalah kami selanjutnya.
Malang, 23 Oktober 2014
Penulis
Daftar Isi
Halaman
Judul.............................................................................................
1
Kata
Pengantar.............................................................................................
2
Daftar Isi .....................................................................................................
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ……...........................................................................
4
1.2 Rumusan
Masalah ..............................................................................
4
1.3 Tujuan
Masalah ..................................................................................
5
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Fakta Kemanusiaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia................................. 6
2.2 Sosiologi
Novel………………………........................................................
9
2.3 Metode Dialektika: Strukturalisme Genetik................................................. 11
2.4
Sastra dan Pandangan Dunia Tragis………................................................ 12
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
...................................................................................................... 14
3.2 Saran ............................................................................................................ 14
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Goldman mencoba menjelaskan kompleksitas struktur
sastra dengan membangun perspektif tentang sosiologi novel. Goldman, dalam
karyanya Towards A Sociology of The Novel (1964), secara komprehensif
mengulas tentang kompleksitas struktur novel. Konsepsi Goldman tentang novel
diperoleh berdasarkan hipotesis yang ia bangun dari persepektif Rene Girarad
tentang dunia fiksi yang terdegradasi dan persepektif Lukacs tentang bentuk
novel yang dipengaruhi oleh karakteristik tokoh yang proble,atik. Goldman lalu
membangun konsepsi tentang novel sebagai sebuah cerita (story) yang
didasarkan pada upaya mencari realitas yang terdegradasi (a degraded reality),
yang dalam istilah Lukacs disebut’dominical” (“mengandung kejahatan”),
dari nilai-nilai otentik (authentic values) dalam dunia yang juga
tergradasi (the world it self degraded) dalam berbagai level “pola” yang
berbeda beda (different mode)
Mengenai “nilai-nilai otentik”, yang dimaksudkan
Goldman bukanlah nilai-nilai dari sebuah kritik atau nilai-nilai yang dihargai
pembaca sebagai sesuatu hal yang otentik tersebut tidak termanifestasi secara eksplisit
di dalam novel, tetapi terorganisasi dalam bentuk “pola” implisit sebagai dunia
novel secara menyeluruh. Tetapi, bukan berarti bahwa nilai-nilai otentik
bersifat spesifik pada sebuah novel yang membuat novel tersebut berbeda dengan
novel yang lain. nilai-nilai otentik hanya ada dalam kesadaran imajinasi
pengarang, bukan dalam tindakan social pengarang yang bersifat konkret.
B. Rumusan Masalah
Ø Seperti Apakah Fakta Kemanusiaaan,
Subjek Kolektif, dan Visi Dunia Itu ?
Ø Apakah Sosoiologi Novel Itu ?
Ø Seperti Apakah Metode Dialektika:
Strukturalisme Genetik ?
Ø Seperti Apakah Sastra dan Pandangan
Dunia Tragis Itu ?
C. Tujuan Makalah
Ø Mendiskripsikan Maksud dari Fakta
Kemanusiaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia
Ø Mendiskripsikan Mengenai Sosoiologi Novel
Ø Mendiskripsikan Mengenai Metode
Dialektika; Strukturalisme Genetik
Ø Mendiskripsikan tentang Sastra dan
Pandangan Dunia Tragis
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Genetika
Sosial Sastra
Ahir
abad ke-19, suatu persepektif yang berbeda dengan teori kritis dari mazhab
frenkurt di Jerman juga berkembang dalam kritisme sastra di Prancis, yang
mengacu pada gagasan Marxis dan positivisme. Berbagai analisis sastra bergerak
dari teks, sebagai fokus yang otonom, menuju faktor-faktor yang bersifat
eksentrik diluar teks. Konsep-konsep teori sosial sastra dalam persepektif
marxis yaitu: (1) sastra bersifat epiphenomenon (fenomena zaman); (2)
sastra adalah refleksi kehidupan pengarang pada masanya; (3) sastra adalah
produk eksternal yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosial
tertentu. Ketiga aspek tersebut menjadi basis analisis terhadap karya sastra.
Karya sastra kemudian diangap menunjukkan “wajah” dari faktor-faktor determinan
seperti ras, lingkungan, kekuatan kelas, dan biografi personal pengarang.
Gagasan teori sastra Marxis kemudian
“diserap” oleh tokoh formalis Rusia maupun tokoh pada Lingkaran Linguistik
Praha (Prague Linguistic circle), terutama gagasan teori sosial sastra
Marxis dikembangkan oleh Lukacs. Salah satu tokoh strukturalisme yang kemudian
menggunakan terminologi kunci teori sosial sastra Marxis dalam memandang sastra
adalah Lucien Goldman (1913-1970). Sebagai kritikus, Goldman, mengikuti tradisi
kritik sastra Marxis dan gagasan Neo-Hegilin yang dikembangkan oleh Lukacs,
menganggap sastra terkait secara genetik dengan ide-ide, nilai-nilai, dan
harapan-harapan sosial.
Goldman mengkritik sosiologi sastra
Marxis, yang secara tradisional menghubungkan karya sastra sebagai tedensi
kesadaran yang diperoleh pengarang dari kelompok sosialnya. Goldman memandang
karya sastra justru merefleksikan kenyataan yang menimbulkan kesadaran
kolektif. Ideologi kolektif, oleh Goldman, juga dianggap mempunyai hubungan
koheren dengan karya sastra individual yang besar, bahkan struktur keduanya
bersifat homologis. Sosiologi sastra Marxis, dalam pandangan Goldman,
senantiasa meyakini bahwa kehidupan sosial akan terekspresi dalam karya sastra
melalui mata rantai kesadaran kolektif yang dimiliki pengarang dan
masarakatnya.
Goldman kemudian menunjukkan
persepektif berbeda dengan mengajukan
pertanyaan hipotesis tentang hubungan antara struktur ekonomi dan menifestasi
sastra, yang dibuat dalam suatu masarakat, yang terjadi diluar kesadaran
kolektif. Goldman mengajukan empat faktor yang berbeda yang menghubungkan karya
sastra dengan struktur ekonomi di luar pengaruh kesadaran kolektif. Pertama,
situasi munculnya pemikiran dari anggota masarakat kelas borjuis yang
didasarkan pada perilaku ekonomi dan eksistensi pertukaran nilai. Pada kasus
tersebut, kategori mediasi adalah aspek yang paling menentukan bagi
terbentuknya pemikiran. Pemikiran yang terbentuk dalam konteks nilai mediasi (mediation
value) kemudian diupayakan untuk menjadi sebuah nilai absolut (absolute
value). Kedua, cara bertahan
dalam masarakat borjuis ditentukan oleh jumlah individu yang secara esensial
mengalami situasi sosial yang problematik. Sisi problematik tersebut ditandai
dengan dominasi nilai-nilai yang secara kualitatif mempengaruhi cara berpikir
dan bertindak mereka. Individu tersebut mencakupi para filusuf, artis,
agamawan, termasuk pengarang atau sastrawan. Ketiga, ekspresi pengalaman
individual seorang pengarang adalah bagian dari aspirasi nilai-nilai kualitatif
masarakat atau kelas sosial tempat pengarang tersebut berasal. Keempat, dalam
masarakat terdapat sistem nilai yang mempengaruhi perkembangan hidup individu sehingga
setiap karya yang dilahirkan akan menjadi elemen penting eksistensi biografi
seseorang.
Goldman mengembangkan metode
strukturalisme genetik untuk menunjukkan relasi relasi struktur sebuah teks
sastra dengan visi dunia (world vision) suatu kelas sosial yang
terepresentasi dalam perspektif pengarang, Goldman memaparkan dua aspek penting
tentang sastra dalam konteks sosial: pertama adalah tentang sastrawan yang baik
dan kedua tentang teks sastra yang baik. Sastrawan yang baik, menurut Goldman,
adalah pengarang yang mampu mentransformasikan “visi dunia” kelompok sosialnya
secara spesifik. Sementara teks sastra yang baik, menurut Goldman, adalah karya
sastra yang bersifat tertutup dalam sebuah koridor vitalitas “visi dunia” yang
koheren dengan kelas sosial yang diartikulasikan. Setiap karya sastra, bagi
Goldman, diproduksi secara genetik berdasarkan visi dunia dan struktur mental
historis suatu kelas sosial yang dimediasi, baik secara sadar maupun tidak
sadar oleh pengarang.
2.2
Fakta Kemanusiaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia
Menurut
Faruk (1994), Goldman menempatkan sastra sebagai sebuah produk historis yang
dinamis, terus-menerus mengalami proses strukturasi dan destrukturasi secara
sosial. Untuk menjelaskan dinamika sebuah karya sastra menjadi sebuah produk
historis, Goldman memulai dengan penjelasan tentang tiga kategori penting yang
posisinya berperan secara historis, yaitu: (1) fakta kemanusiaan; (2) subjek
kolektif dan; (3) visi dunia. Goldman memulai dengan menyebut fakta kemanusiaan
adalah segala bentuk aktifitas dan perilaku kemanusiaan baik yang bersifat
politis, sosial, kultural, filosofis, dan estetis. Meskipun demikian, tidak
semua fakta kemanusiaan mempunyai nilai historis. Untuk menjelaskan kualitas
historis sebuah fakta kemanusiaan, Goldman, membagi dua jenis fakta
kemanusiaan, yaitu fakta kemanusiaan yang bersifat individual dan fakta
kemanusiaan yang bersifat sosial.
Fakta kemanusiaan yang bersifat
individual adalah fakta kemanusiaan yang muncul sebagai respon individual
(subjek individual) terhadap situasi dunianya. Kecenderungan respon individual
selalu timbul sebagai efek personal. fakta kemanuisaan yang yang individual
adalah hasil perilaku yang bersifat libidinal semata, yang struktur maknanya
hanya bersifat individual. Keputusan-keputusan yang tidak berarti secara sosial
dan hanya berarti secara individual, seperti bernyanyi sendiri, luapan-luapan
emosi personal, atau bermimpi, adalah sebuah fakta kemanusiaan yang bersifat
individual. Tindakan dalam fakta kemanusiaan yang individual adalah segala
tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang didasarkan oleh subjektivitas
dieinya sebagai individu atau “subjek individual”.
Fakta kemanusiaan yang bersifat
sosial adalah fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh seseorang (subjek) atas
dasar posisinya sebagai bagian dari suatu masarakat (subjek kolektif). Tindakan
subjek kolektif untuk merespon dunianya dengan cara memodifikasi dan berupaya
menemukan keseimbangan sosial adalah fakta kemanusiaan yang mempunyai peran
secara historis. Segala tindakan seseorang baik dalam kapasitas diri sebagai
subjek kolektif dan untuk memodifikasi dunia dan menemukan keseimbangan sosial
dan memiliki peranan penting dalam sejarah.
Goldman memetakan peran fakta
kemanusiaan dalam sebuah efek kongkret sebuah peristiwa sosial. Subjek yang
bertindak sebagai individu tidak aakan menghasilkan atau mencapai sebuah
dinamika sejarah yang memodivikasi dunaia menjadi seimbang dan harmonis. Hanya
subjek kolektif saja, individu yang bertindak trans-individual dan menjangkau
individu lain secara kolektif, yang dapat mena ngkap visi dunia dan menciptakan
sebuah sejarah. Revolusi sejarah, perubahan struktur ekonomi, dan karya-karya
sastra yang menangkap kekuatan sejarah pada suatu masarakat adalah fakta-fakta
kemanusiaan yang bersifat sosial dan diciptakan, dipikirkan, dihasilkan oleh
individu berdasarkan motivasi sosial (individu sebagai subjek kolektif).
Subjek kolektif (subjek
trans-individual atau subjek secara
individual melampaui dirinya sebagai individu) adalah sekempulan individu, yang
masing-masing dirinya adalah subjek, yang bertindak dalam sebuah kesatuan
kolektif untuk menciptakan sebuah realitas sosial. Sastrawan atau pengarang
besar adalah subjek yang melampaui dirinya sebagai individu dalam berkarya.
Mereka berkarya, nbukan untuk sebagai individu, tetapi sebagai bagian
darikesatuan kolektif sosialyang sedang bergerak mmodifikasi realitas. Seorang
sastrawan besar memosisikan dirinya sebagai bagian yang tidak terpisah dengan
individu-indivu lain yang sedang melakukan aktivitas politik, revolusi sosial,
dan perubahan sistem ekonomi. Maka, karya sastra sebagai sebagai sebuah fakta
kemanusiaan yang bersifat sosial adalah karya yang stara dengan sekumpulan
arsitektur yang sedang membangun sebuah bangunan sebuah bangunan besar. Bagi
goldman, subjek-subjek kolektif ditandai dengan karakter kelas sosial yang
menjadi basis tindakan sosila. Kelas sosial menunjukkan sebuah kesatuan
kolektivitas dari subjek-subjek yang mempunyai karakter metal individual yang
bertendensi historis.
Karya sastra sebagai sebuah fakta
kemanusiaan yang bersifat sosial sebagai hasil dari subjek kolektif pengarang
terkait dengan struktur masarakat. Tetapi, hubungan antara karya sastra dan
masarakat tidak bersifat determinan, melainkan melalui mediasi “visi dunia” (vision
du monde dalam istilah Goldman) pengarang. Sastrawan, sebagai anggota
masarakat atau anggota kelas sosial tertentu, adalah subjek kolektif yang
menangkap segala gagasan, ide, harapan, sentimen, dan kesadaran sosial dalam
masaraktnya atau kelompoknya. Berdasarkan kepentingan-kepentingan sosial atau
kelompok sosialnya, pengarang menuliskan karya sastra untuk merespon dunia
dengan cara mengungkapkan ekspresi kolektif masarakat atau kelompok masarakat
yang membentuk mentalitas sosialnya.
2.3.
Sosiologi Novel
Goldman
mencoba menjelaskan kompleksitas struktur sastra dengan membangun perspektif
tentang sosiologi novel. Goldman, dalam karyanya Towards A Sociology of The
Novel (1964), secara komprehensif mengulas tentang kompleksitas struktur
novel. Konsepsi Goldman tentang novel diperoleh berdasarkan hipotesis yang ia
bangun dari persepektif Rene Girarad tentang dunia fiksi yang terdegradasi dan
persepektif Lukacs tentang bentuk novel yang dipengaruhi oleh karakteristik
tokoh yang proble,atik. Goldman lalu membangun konsepsi tentang novel sebagai
sebuah cerita (story) yang didasarkan pada upaya mencari realitas yang
terdegradasi (a degraded reality), yang dalam istilah Lukacs disebut’dominical”
(“mengandung kejahatan”), dari nilai-nilai otentik (authentic values)
dalam dunia yang juga tergradasi (the world it self degraded) dalam
berbagai level “pola” yang berbeda beda (different mode)
Mengenai “nilai-nilai otentik”, yang dimaksudkan
Goldman bukanlah nilai-nilai dari sebuah kritik atau nilai-nilai yang dihargai
pembaca sebagai sesuatu hal yang otentik tersebut tidak termanifestasi secara
eksplisit di dalam novel, tetapi terorganisasi dalam bentuk “pola” implisit
sebagai dunia novel secara menyeluruh. Tetapi, bukan berarti bahwa nilai-nilai
otentik bersifat spesifik pada sebuah novel yang membuat novel tersebut berbeda
dengan novel yang lain. nilai-nilai otentik hanya ada dalam kesadaran imajinasi
pengarang, bukan dalam tindakan social pengarang yang bersifat konkret.
Goldman
menegaskan posisi novel yang merangkum dua situasi dalam bentuk
dialektika-alamiah antara komunitas dari tokoh yang menjadi “pahlawan” (hero)
dengan dunianya. Baik tokoh dan dunianya sama-sama berelasi dalam situasi yang terdegradasi.
Tokoh dalam novel yang tersusupi dengan kejahatan (demonical) serta
berkarakter gila dan “kriminal “ disebut oleh goldmen dengan istilah “karakter
problematik” (problematic character). Tokoh yang problematik adalah
tokoh yang terdegradasi dan kehilangan nilai-nilai otentiknya (inauthentic).
Goldman merujuk tipologi novel yang dikemumkakan oleh lukacs tentang novel
idealisme abstrak, psikologis, bildungsroman, dan divinisi Girard
tentang novel yang mencari nilai-nilai otentik dalam dunia yang terdegradasi,
sebagai sebuah gagasan fiksi yang menunjukkan “kerinduan ontologis”. Situasi
terdegradasi adalah sebuah kondisi yang terkait dengan pencarian nilai otentik
untuk menemukan totalitas. Situasi terdegradasi, sebagaimana dijelaskan oleh
lukacs, adalah munculnya sebuah jurang antara tokoh “hero” dan dunianya
yang tidak tertengahi.
2.4. Metode
Dialektika: Strukturalisme Genetik
Dalam karyanya, the episthemology
of socology (1981), Goldman membangun konsep teoritik tentang hubungan
sastra dan pengarang. Menurut goldman, karya sastra adalah ekspresi dari
pandangan dunia pengarang secara imajiner, sehingga dalam karya sastra
terkandung pandangan dunia pengarang yang dapat ditemukan melalui tokoh-tokoh,
objek-objek, dan relasi-relasi, antar tokoh dan objek yang berlangsung secara
imajiner. Bagi Goldman, pengarang membutuhkan pengalaman sosial yang memadai
untuk membangun relasi –relasi imajiner dalam karya sastranya.
Posisi karya sastra yang unik
membuat Goldman mengembangkan sebuah metode yang secara spesifik dapat
mengungkapkan makna dan nilai kompleks struktur karya sastra dalam hubungannya
dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung. Goldman kemudian menyusun
sebuah metode dialektika sebagai metode husus yang berbeda dengan metode
positivisme, intituitif, dan psikologis. Menurut Faruk (1994), Goldman
mengembangkan metode dialektika dengan menempatkan konsep koherensi struktural
sebagai prinsip dasar untuk mengungkap fakta-fakta kemanusiaan yang bersifat
abstrakm dalam sebuah karya sastra. Metode dialektika Goldman juga dikenal
dengan istilah “strukturalisme genetik”, terutama karena penekanan pada konsep
“lingkaran hermeneutika” dalam bentuk “bagian yang menjelaskan keseluruhan dan
keseluruhan yang menjelaskan bagian-bagian” dan prinsip “pemahaman-penjelasan”.
Prinsip filosofis metode dilektika,
sebagaimana yang dibicarakan oleh Hegel dan Marx, lebih terkait dengan
pencapaian dan penemuan “totalitas”. Metode dialektika, secara holistik,
diharapkan mampu untuk mencapai sebuah gambaran yang mendalam dan mencakup
unsur-unsur yang kompleks pada sebuah karya sastra. Metode dialektika juga
diharapkan mencapai totalitas jawaban-jawaban dari serangkaian
pertanyaan-pertanyaan holistik seputar karya sastra. Hegel dan Marx menggunakan
“dialektika” untuk sebuah ketidakpercayaan atas otonmi karya sastra. Dalam pandangan
Marx, karya sastra hanyalah sebuah faktor yang muncul dari sebuah proses total
perkembangan sosio-historis sebuah masarakat tempat karya sastra itu
dilehirkan. Sebuah karya sastra adalah bagian atau unit dari sebuah keseluruhan
dan kolektivitas. Hegel dan Marx menempatkan sastra dan seni sebagai sebuah
tahapan atau fase dari sebuah momen dialektikal dalam sejarah manusia.
Goldman
setidaknya menemukan konsep dialektika dari persepektif Marx tentang hubungan
antara individu (pengarang) dan masarakat sebagai hubungan antara hasil karya
sastra dengan ekspresi dialektis. Dialektika adalah sebuah proses yang tidak
hanya berhenti pada suatu karya sastra, tetapi juga model-model social dan
hubungan-hubungan yang ada antara infrastruktur, suprastruktur, ekonomi dan
ideology. Maka untuk menjelaskan sebuah makna dan nilai karya sastra,
fungsi-fungsi hubungan-hubungan dialektika harus dipahami. Sebagaimana Hegel
menekankan dialektika sebagai sebuah kualitas hubungan yang saling merembes,
menembus, dan terjelaskan secara adaptasi dan timbal balik, sastra telah
dipersatukan dengan masarakatnya, sekalipun posisi dan saling mengungkapkan
fungsi-fungsinya masing-masing.
2.5.
Sastra dan Pandangan Dunia Tragis
Secara mendasar, dalam The Hidden God (1977), Goldmann melakukan
sebuah analisis tentang pandangan dunia pengarang dalam karya Blaise Pascal dan
Jean Racine. Penelitian tersebut tidak saja menunjukkan kekuatan social sastra,
tetapi juga mengaitkan sastra dengan kelompok social tertentu. Goldmann ingin
memahami struktur kesadarna yang terekspresi dalam karya sastra dan filsafat.
Untuk karya filsafat, Goldmann memilih Blaise Pascal (1623-1662), seorang
filsuf yang menghindari persepektif rasionalisme Descartes dalam memehami alam.
Bagi pascal, realitas adalah sebuah rahasia dan tugas ilmu pengetahuan adalah
menyelami keadaan manusia yang kongkret. Akal dapat memberi pengetahuan tentang
rahasia realitas, tetapi tidak dapat merumuskannya dalam pengertian-pengertian
yang cukup. Filsafat Pascal mewujudkan dialog antara manusia yang kongkret
dengan Tuhan yang abstrak. Untuk karya sastra, Goldmann memilih seseorang
sastrawan yang banyak menulis naskah drama, yaitu Racine.
Karya Jean Racine (1639-1699) yang
ditinjau oleh Goldmann adalah empat naskah drama tragedy, yaitu Andromaque,
Britannicus, Berenice, dan Phedre. Sementara untuk karya Pascal, Goldmann
meninjau the Pensees. Sebagaimana pandangannya tentang dialektika pada
metode strukturalisme genetinya, Goldmann memandang setiap karya sastra maupun
filsafat hanyalah sebuah elemen dari keseluruhan (the whole and the parts)
kelompok social tempat pengarang, sastrawan, atau filsuf menemukan ekspresi
gagasannya. Goldmann menempatkan karya sastra dan filsafat sebagai fenomena
yang kompleks dan berhubungan dengan ide-ide abstrak masarakatnya dan terkait
dengan pandangan dunia atau visi dunia (world vision) pengarang.
Goldmann kemudian menunjukkan posisi
karya sastra dan filsafat dapat menjelaskan basis social atau masarakat.
Filsafat dan sastra akan menjelaskan realitas yang sedang terjadi melalui
gagasan pandangan dunia atau visi dunia filsuf dan sastrawan. Menurut Goldmaan,
situasi realita social di Eropa Barat pada abad ke-17 dapat diketahui
berdasarkan system gagasan filsafat dan sastra melalui karya-karya filsafat
Rene Descartes (1596-1650) dan keya sastra Piere Cornelie (1606-1684), karya
filsafat Blaise Pascal (1623-1662) dan karya-karya sastra Jean Racine
(1639-1699) dan hubungan-hubungan karya filsafat lainnya.
Visi yang tragis dapat ditemukan
dengan jelas melalui perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan visi
dalam karya-karya filsafat antara pandangan dunia rasionalisme melalui karya
filsafat Descartes dengan pandangan dunia Empirisme yang direpresentasi melalui
karya-karya David Hume. Demikian juga dengan munculnya karya-karya filsafat
yang mengusung skeptisme seperti Montaigne dan kritisme Immanuel Kant. Karya
Pascal muncul justru ketika ia membaca karya-karya rasionalis dari Descartes
dan skeptimisme Montaigne; karya-karya Kant lahir ketika membaca Leibniz dan
Hume. Akar fundamentalis munculnya visi tragis melalui karya-karya filsafat di
Eropa Barat pada abad ke-17 dipicu oleh pertentangan rasionalisme yang bersifat
aktif dan empirisme yang bersifat kreatif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ikhtiyar teorisasi
sastra sudah berlangsung nyaris sama tuanya dengan riwayat kehidupan dan
perkembangan sastra sendiri. Di barat, pada periode Yunani-Romawi klasik,
rujukan utamnaya selalu pada teori Plato Aristoteles-Horasius. Entah kenapa,
behkan jauh sebelum Aufklarung, dunia barat sudah memperlihatkan gejala
kegairahan untuk berteori tentang
B. Saran
Tak ada gading yang tak
retak, seperti inilah cerminan makalah kami. Karena usaha kami dalam menyusun
makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, maka dari itu, kami
memohon saran dan kritik membangun agar pada penyusunan makalah yang
selanjutnya kami dapat membenahi kesalahan pada makalah kami yang selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Ombak. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar