Kamis, 19 Maret 2015

Makalah Genetika Sastra



MAKALAH
GENETIKA SOSIAL SASTRA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Teori Sosial Sastra
Dosen Pengampu : Moh. Badrih,M.Pd
unisma_hijau2.jpg

Oleh :
M. Fadlulloh ArRozaq            (2130710005)
       Lovi Adekyanti                       (213071000 )


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
NOPEMBER 2014

Kata Pengantar
Tiada kata yang dapat saya sampaikan kecuali rasa syukur kehadirat Allah SWT hingga saat ini saya diberikan kesempatan untuk dapat menulis sebuah makalah ini, hanya karena rahmat yang diberikan-Nya kami dapat merangkai makalah ini hingga selesai. Apapun yang kami sajikan semoga selalu bermanfaat bagi para pembacanya.
Pada makalah ini, kami dapat sampaikan mengenai  nilai-nilai otentik yang tidak termanivestasi secara eksplisit dalam novel secara menyeluruh. Tetapi, bukan berarti bahwa nilai-nilai otentik bersifat spesifik. Pembahasan nilai-nilai dalam ilmu social sastra adalah kental dengan teori-teori orang barat, yang mana dalam makalah ini membahas dari awal seperti apa hazanah keilmuan sastra di Indonesia mengadaptasi ilmu dunia barat. Dan makalah ini kami beri judul “Genetika Sosial Sastra”.
Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini saya sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
      Bapak M. Badrih, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah ilmu sosial sastra
      Kedua orang tua kami yang selalu menyertai langkah kami dengan doa
Dan kepada rekan rekan yang berkat dukungan merekamakalah ini selesai seperti yang kami harapkan
Kami sangat menyadari, makalah kami masih banyak kekurangan baik isi materi maupun teknik penulisan, oleh sebab itu, kritik, saran dan pendapat dari pembaca sangat kami harapkan sebagai bekal pembenahan makalah kami selanjutnya.


Malang, 23 Oktober 2014



Penulis



Daftar Isi

Halaman Judul.............................................................................................      1
Kata Pengantar.............................................................................................      2
Daftar Isi .....................................................................................................      3

BAB I PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang ……...........................................................................      4
1.2     Rumusan Masalah ..............................................................................      4
1.3     Tujuan Masalah ..................................................................................      5

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Fakta Kemanusiaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia................................. 6
2.2 Sosiologi Novel………………………........................................................ 9
2.3 Metode Dialektika: Strukturalisme Genetik................................................. 11 
2.4  Sastra dan Pandangan Dunia Tragis………................................................ 12   

BAB III PENUTUP
3.1  Simpulan ...................................................................................................... 14
3.2  Saran ............................................................................................................ 14
Daftar Pustaka                                                                                                                  






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Goldman mencoba menjelaskan kompleksitas struktur sastra dengan membangun perspektif tentang sosiologi novel. Goldman, dalam karyanya Towards A Sociology of The Novel (1964), secara komprehensif mengulas tentang kompleksitas struktur novel. Konsepsi Goldman tentang novel diperoleh berdasarkan hipotesis yang ia bangun dari persepektif Rene Girarad tentang dunia fiksi yang terdegradasi dan persepektif Lukacs tentang bentuk novel yang dipengaruhi oleh karakteristik tokoh yang proble,atik. Goldman lalu membangun konsepsi tentang novel sebagai sebuah cerita (story) yang didasarkan pada upaya mencari realitas yang terdegradasi (a degraded reality), yang dalam istilah Lukacs disebut’dominical” (“mengandung kejahatan”), dari nilai-nilai otentik (authentic values) dalam dunia yang juga tergradasi (the world it self degraded) dalam berbagai level “pola” yang berbeda beda (different mode)
Mengenai “nilai-nilai otentik”, yang dimaksudkan Goldman bukanlah nilai-nilai dari sebuah kritik atau nilai-nilai yang dihargai pembaca sebagai sesuatu hal yang otentik tersebut tidak termanifestasi secara eksplisit di dalam novel, tetapi terorganisasi dalam bentuk “pola” implisit sebagai dunia novel secara menyeluruh. Tetapi, bukan berarti bahwa nilai-nilai otentik bersifat spesifik pada sebuah novel yang membuat novel tersebut berbeda dengan novel yang lain. nilai-nilai otentik hanya ada dalam kesadaran imajinasi pengarang, bukan dalam tindakan social pengarang yang bersifat konkret.

B.      Rumusan Masalah
Ø  Seperti Apakah Fakta Kemanusiaaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia Itu ?
Ø  Apakah Sosoiologi Novel Itu ?
Ø  Seperti Apakah Metode Dialektika: Strukturalisme Genetik ?
Ø  Seperti Apakah Sastra dan Pandangan Dunia Tragis Itu ?

C.     Tujuan Makalah
Ø  Mendiskripsikan Maksud dari Fakta Kemanusiaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia
Ø  Mendiskripsikan  Mengenai Sosoiologi Novel
Ø  Mendiskripsikan Mengenai Metode Dialektika; Strukturalisme Genetik
Ø  Mendiskripsikan tentang Sastra dan Pandangan Dunia Tragis
























BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Genetika Sosial Sastra
            Ahir abad ke-19, suatu persepektif yang berbeda dengan teori kritis dari mazhab frenkurt di Jerman juga berkembang dalam kritisme sastra di Prancis, yang mengacu pada gagasan Marxis dan positivisme. Berbagai analisis sastra bergerak dari teks, sebagai fokus yang otonom, menuju faktor-faktor yang bersifat eksentrik diluar teks. Konsep-konsep teori sosial sastra dalam persepektif marxis yaitu: (1) sastra bersifat epiphenomenon (fenomena zaman); (2) sastra adalah refleksi kehidupan pengarang pada masanya; (3) sastra adalah produk eksternal yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosial tertentu. Ketiga aspek tersebut menjadi basis analisis terhadap karya sastra. Karya sastra kemudian diangap menunjukkan “wajah” dari faktor-faktor determinan seperti ras, lingkungan, kekuatan kelas, dan biografi personal pengarang.
            Gagasan teori sastra Marxis kemudian “diserap” oleh tokoh formalis Rusia maupun tokoh pada Lingkaran Linguistik Praha (Prague Linguistic circle), terutama gagasan teori sosial sastra Marxis dikembangkan oleh Lukacs. Salah satu tokoh strukturalisme yang kemudian menggunakan terminologi kunci teori sosial sastra Marxis dalam memandang sastra adalah Lucien Goldman (1913-1970). Sebagai kritikus, Goldman, mengikuti tradisi kritik sastra Marxis dan gagasan Neo-Hegilin yang dikembangkan oleh Lukacs, menganggap sastra terkait secara genetik dengan ide-ide, nilai-nilai, dan harapan-harapan sosial.
            Goldman mengkritik sosiologi sastra Marxis, yang secara tradisional menghubungkan karya sastra sebagai tedensi kesadaran yang diperoleh pengarang dari kelompok sosialnya. Goldman memandang karya sastra justru merefleksikan kenyataan yang menimbulkan kesadaran kolektif. Ideologi kolektif, oleh Goldman, juga dianggap mempunyai hubungan koheren dengan karya sastra individual yang besar, bahkan struktur keduanya bersifat homologis. Sosiologi sastra Marxis, dalam pandangan Goldman, senantiasa meyakini bahwa kehidupan sosial akan terekspresi dalam karya sastra melalui mata rantai kesadaran kolektif yang dimiliki pengarang dan masarakatnya.
            Goldman kemudian menunjukkan persepektif berbeda  dengan mengajukan pertanyaan hipotesis tentang hubungan antara struktur ekonomi dan menifestasi sastra, yang dibuat dalam suatu masarakat, yang terjadi diluar kesadaran kolektif. Goldman mengajukan empat faktor yang berbeda yang menghubungkan karya sastra dengan struktur ekonomi di luar pengaruh kesadaran kolektif. Pertama, situasi munculnya pemikiran dari anggota masarakat kelas borjuis yang didasarkan pada perilaku ekonomi dan eksistensi pertukaran nilai. Pada kasus tersebut, kategori mediasi adalah aspek yang paling menentukan bagi terbentuknya pemikiran. Pemikiran yang terbentuk dalam konteks nilai mediasi (mediation value) kemudian diupayakan untuk menjadi sebuah nilai absolut (absolute value). Kedua,  cara bertahan dalam masarakat borjuis ditentukan oleh jumlah individu yang secara esensial mengalami situasi sosial yang problematik. Sisi problematik tersebut ditandai dengan dominasi nilai-nilai yang secara kualitatif mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka. Individu tersebut mencakupi para filusuf, artis, agamawan, termasuk pengarang atau sastrawan. Ketiga, ekspresi pengalaman individual seorang pengarang adalah bagian dari aspirasi nilai-nilai kualitatif masarakat atau kelas sosial tempat pengarang tersebut berasal. Keempat, dalam masarakat terdapat sistem nilai yang mempengaruhi perkembangan hidup individu sehingga setiap karya yang dilahirkan akan menjadi elemen penting eksistensi biografi seseorang.
            Goldman mengembangkan metode strukturalisme genetik untuk menunjukkan relasi relasi struktur sebuah teks sastra dengan visi dunia (world vision) suatu kelas sosial yang terepresentasi dalam perspektif pengarang, Goldman memaparkan dua aspek penting tentang sastra dalam konteks sosial: pertama adalah tentang sastrawan yang baik dan kedua tentang teks sastra yang baik. Sastrawan yang baik, menurut Goldman, adalah pengarang yang mampu mentransformasikan “visi dunia” kelompok sosialnya secara spesifik. Sementara teks sastra yang baik, menurut Goldman, adalah karya sastra yang bersifat tertutup dalam sebuah koridor vitalitas “visi dunia” yang koheren dengan kelas sosial yang diartikulasikan. Setiap karya sastra, bagi Goldman, diproduksi secara genetik berdasarkan visi dunia dan struktur mental historis suatu kelas sosial yang dimediasi, baik secara sadar maupun tidak sadar oleh pengarang.
2.2 Fakta Kemanusiaan, Subjek Kolektif, dan Visi Dunia
            Menurut Faruk (1994), Goldman menempatkan sastra sebagai sebuah produk historis yang dinamis, terus-menerus mengalami proses strukturasi dan destrukturasi secara sosial. Untuk menjelaskan dinamika sebuah karya sastra menjadi sebuah produk historis, Goldman memulai dengan penjelasan tentang tiga kategori penting yang posisinya berperan secara historis, yaitu: (1) fakta kemanusiaan; (2) subjek kolektif dan; (3) visi dunia. Goldman memulai dengan menyebut fakta kemanusiaan adalah segala bentuk aktifitas dan perilaku kemanusiaan baik yang bersifat politis, sosial, kultural, filosofis, dan estetis. Meskipun demikian, tidak semua fakta kemanusiaan mempunyai nilai historis. Untuk menjelaskan kualitas historis sebuah fakta kemanusiaan, Goldman, membagi dua jenis fakta kemanusiaan, yaitu fakta kemanusiaan yang bersifat individual dan fakta kemanusiaan yang bersifat sosial.
            Fakta kemanusiaan yang bersifat individual adalah fakta kemanusiaan yang muncul sebagai respon individual (subjek individual) terhadap situasi dunianya. Kecenderungan respon individual selalu timbul sebagai efek personal. fakta kemanuisaan yang yang individual adalah hasil perilaku yang bersifat libidinal semata, yang struktur maknanya hanya bersifat individual. Keputusan-keputusan yang tidak berarti secara sosial dan hanya berarti secara individual, seperti bernyanyi sendiri, luapan-luapan emosi personal, atau bermimpi, adalah sebuah fakta kemanusiaan yang bersifat individual. Tindakan dalam fakta kemanusiaan yang individual adalah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang didasarkan oleh subjektivitas dieinya sebagai individu atau “subjek individual”.
            Fakta kemanusiaan yang bersifat sosial adalah fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh seseorang (subjek) atas dasar posisinya sebagai bagian dari suatu masarakat (subjek kolektif). Tindakan subjek kolektif untuk merespon dunianya dengan cara memodifikasi dan berupaya menemukan keseimbangan sosial adalah fakta kemanusiaan yang mempunyai peran secara historis. Segala tindakan seseorang baik dalam kapasitas diri sebagai subjek kolektif dan untuk memodifikasi dunia dan menemukan keseimbangan sosial dan memiliki peranan penting dalam sejarah.
            Goldman memetakan peran fakta kemanusiaan dalam sebuah efek kongkret sebuah peristiwa sosial. Subjek yang bertindak sebagai individu tidak aakan menghasilkan atau mencapai sebuah dinamika sejarah yang memodivikasi dunaia menjadi seimbang dan harmonis. Hanya subjek kolektif saja, individu yang bertindak trans-individual dan menjangkau individu lain secara kolektif, yang dapat mena ngkap visi dunia dan menciptakan sebuah sejarah. Revolusi sejarah, perubahan struktur ekonomi, dan karya-karya sastra yang menangkap kekuatan sejarah pada suatu masarakat adalah fakta-fakta kemanusiaan yang bersifat sosial dan diciptakan, dipikirkan, dihasilkan oleh individu berdasarkan motivasi sosial (individu sebagai subjek kolektif).
            Subjek kolektif (subjek trans-individual atau  subjek secara individual melampaui dirinya sebagai individu) adalah sekempulan individu, yang masing-masing dirinya adalah subjek, yang bertindak dalam sebuah kesatuan kolektif untuk menciptakan sebuah realitas sosial. Sastrawan atau pengarang besar adalah subjek yang melampaui dirinya sebagai individu dalam berkarya. Mereka berkarya, nbukan untuk sebagai individu, tetapi sebagai bagian darikesatuan kolektif sosialyang sedang bergerak mmodifikasi realitas. Seorang sastrawan besar memosisikan dirinya sebagai bagian yang tidak terpisah dengan individu-indivu lain yang sedang melakukan aktivitas politik, revolusi sosial, dan perubahan sistem ekonomi. Maka, karya sastra sebagai sebagai sebuah fakta kemanusiaan yang bersifat sosial adalah karya yang stara dengan sekumpulan arsitektur yang sedang membangun sebuah bangunan sebuah bangunan besar. Bagi goldman, subjek-subjek kolektif ditandai dengan karakter kelas sosial yang menjadi basis tindakan sosila. Kelas sosial menunjukkan sebuah kesatuan kolektivitas dari subjek-subjek yang mempunyai karakter metal individual yang bertendensi historis.
            Karya sastra sebagai sebuah fakta kemanusiaan yang bersifat sosial sebagai hasil dari subjek kolektif pengarang terkait dengan struktur masarakat. Tetapi, hubungan antara karya sastra dan masarakat tidak bersifat determinan, melainkan melalui mediasi “visi dunia” (vision du monde dalam istilah Goldman) pengarang. Sastrawan, sebagai anggota masarakat atau anggota kelas sosial tertentu, adalah subjek kolektif yang menangkap segala gagasan, ide, harapan, sentimen, dan kesadaran sosial dalam masaraktnya atau kelompoknya. Berdasarkan kepentingan-kepentingan sosial atau kelompok sosialnya, pengarang menuliskan karya sastra untuk merespon dunia dengan cara mengungkapkan ekspresi kolektif masarakat atau kelompok masarakat yang membentuk mentalitas sosialnya.

2.3. Sosiologi Novel
      Goldman mencoba menjelaskan kompleksitas struktur sastra dengan membangun perspektif tentang sosiologi novel. Goldman, dalam karyanya Towards A Sociology of The Novel (1964), secara komprehensif mengulas tentang kompleksitas struktur novel. Konsepsi Goldman tentang novel diperoleh berdasarkan hipotesis yang ia bangun dari persepektif Rene Girarad tentang dunia fiksi yang terdegradasi dan persepektif Lukacs tentang bentuk novel yang dipengaruhi oleh karakteristik tokoh yang proble,atik. Goldman lalu membangun konsepsi tentang novel sebagai sebuah cerita (story) yang didasarkan pada upaya mencari realitas yang terdegradasi (a degraded reality), yang dalam istilah Lukacs disebut’dominical” (“mengandung kejahatan”), dari nilai-nilai otentik (authentic values) dalam dunia yang juga tergradasi (the world it self degraded) dalam berbagai level “pola” yang berbeda beda (different mode)
Mengenai “nilai-nilai otentik”, yang dimaksudkan Goldman bukanlah nilai-nilai dari sebuah kritik atau nilai-nilai yang dihargai pembaca sebagai sesuatu hal yang otentik tersebut tidak termanifestasi secara eksplisit di dalam novel, tetapi terorganisasi dalam bentuk “pola” implisit sebagai dunia novel secara menyeluruh. Tetapi, bukan berarti bahwa nilai-nilai otentik bersifat spesifik pada sebuah novel yang membuat novel tersebut berbeda dengan novel yang lain. nilai-nilai otentik hanya ada dalam kesadaran imajinasi pengarang, bukan dalam tindakan social pengarang yang bersifat konkret.
Goldman menegaskan posisi novel yang merangkum dua situasi dalam bentuk dialektika-alamiah antara komunitas dari tokoh yang menjadi “pahlawan” (hero) dengan dunianya. Baik tokoh dan dunianya sama-sama berelasi dalam situasi yang terdegradasi. Tokoh dalam novel yang tersusupi dengan kejahatan (demonical) serta berkarakter gila dan “kriminal “ disebut oleh goldmen dengan istilah “karakter problematik” (problematic character). Tokoh yang problematik adalah tokoh yang terdegradasi dan kehilangan nilai-nilai otentiknya (inauthentic). Goldman merujuk tipologi novel yang dikemumkakan oleh lukacs tentang novel idealisme abstrak, psikologis, bildungsroman, dan divinisi Girard tentang novel yang mencari nilai-nilai otentik dalam dunia yang terdegradasi, sebagai sebuah gagasan fiksi yang menunjukkan “kerinduan ontologis”. Situasi terdegradasi adalah sebuah kondisi yang terkait dengan pencarian nilai otentik untuk menemukan totalitas. Situasi terdegradasi, sebagaimana dijelaskan oleh lukacs, adalah munculnya sebuah jurang antara tokoh “hero” dan dunianya yang tidak tertengahi.
2.4. Metode Dialektika: Strukturalisme Genetik
            Dalam karyanya, the episthemology of socology (1981), Goldman membangun konsep teoritik tentang hubungan sastra dan pengarang. Menurut goldman, karya sastra adalah ekspresi dari pandangan dunia pengarang secara imajiner, sehingga dalam karya sastra terkandung pandangan dunia pengarang yang dapat ditemukan melalui tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi, antar tokoh dan objek yang berlangsung secara imajiner. Bagi Goldman, pengarang membutuhkan pengalaman sosial yang memadai untuk membangun relasi –relasi imajiner dalam karya sastranya.
            Posisi karya sastra yang unik membuat Goldman mengembangkan sebuah metode yang secara spesifik dapat mengungkapkan makna dan nilai kompleks struktur karya sastra dalam hubungannya dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung. Goldman kemudian menyusun sebuah metode dialektika sebagai metode husus yang berbeda dengan metode positivisme, intituitif, dan psikologis. Menurut Faruk (1994), Goldman mengembangkan metode dialektika dengan menempatkan konsep koherensi struktural sebagai prinsip dasar untuk mengungkap fakta-fakta kemanusiaan yang bersifat abstrakm dalam sebuah karya sastra. Metode dialektika Goldman juga dikenal dengan istilah “strukturalisme genetik”, terutama karena penekanan pada konsep “lingkaran hermeneutika” dalam bentuk “bagian yang menjelaskan keseluruhan dan keseluruhan yang menjelaskan bagian-bagian” dan prinsip “pemahaman-penjelasan”.
            Prinsip filosofis metode dilektika, sebagaimana yang dibicarakan oleh Hegel dan Marx, lebih terkait dengan pencapaian dan penemuan “totalitas”. Metode dialektika, secara holistik, diharapkan mampu untuk mencapai sebuah gambaran yang mendalam dan mencakup unsur-unsur yang kompleks pada sebuah karya sastra. Metode dialektika juga diharapkan mencapai totalitas jawaban-jawaban dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan holistik seputar karya sastra. Hegel dan Marx menggunakan “dialektika” untuk sebuah ketidakpercayaan atas otonmi karya sastra. Dalam pandangan Marx, karya sastra hanyalah sebuah faktor yang muncul dari sebuah proses total perkembangan sosio-historis sebuah masarakat tempat karya sastra itu dilehirkan. Sebuah karya sastra adalah bagian atau unit dari sebuah keseluruhan dan kolektivitas. Hegel dan Marx menempatkan sastra dan seni sebagai sebuah tahapan atau fase dari sebuah momen dialektikal dalam sejarah manusia.
            Goldman setidaknya menemukan konsep dialektika dari persepektif Marx tentang hubungan antara individu (pengarang) dan masarakat sebagai hubungan antara hasil karya sastra dengan ekspresi dialektis. Dialektika adalah sebuah proses yang tidak hanya berhenti pada suatu karya sastra, tetapi juga model-model social dan hubungan-hubungan yang ada antara infrastruktur, suprastruktur, ekonomi dan ideology. Maka untuk menjelaskan sebuah makna dan nilai karya sastra, fungsi-fungsi hubungan-hubungan dialektika harus dipahami. Sebagaimana Hegel menekankan dialektika sebagai sebuah kualitas hubungan yang saling merembes, menembus, dan terjelaskan secara adaptasi dan timbal balik, sastra telah dipersatukan dengan masarakatnya, sekalipun posisi dan saling mengungkapkan fungsi-fungsinya masing-masing.
2.5. Sastra dan Pandangan Dunia Tragis
            Secara mendasar, dalam The Hidden God (1977), Goldmann melakukan sebuah analisis tentang pandangan dunia pengarang dalam karya Blaise Pascal dan Jean Racine. Penelitian tersebut tidak saja menunjukkan kekuatan social sastra, tetapi juga mengaitkan sastra dengan kelompok social tertentu. Goldmann ingin memahami struktur kesadarna yang terekspresi dalam karya sastra dan filsafat. Untuk karya filsafat, Goldmann memilih Blaise Pascal (1623-1662), seorang filsuf yang menghindari persepektif rasionalisme Descartes dalam memehami alam. Bagi pascal, realitas adalah sebuah rahasia dan tugas ilmu pengetahuan adalah menyelami keadaan manusia yang kongkret. Akal dapat memberi pengetahuan tentang rahasia realitas, tetapi tidak dapat merumuskannya dalam pengertian-pengertian yang cukup. Filsafat Pascal mewujudkan dialog antara manusia yang kongkret dengan Tuhan yang abstrak. Untuk karya sastra, Goldmann memilih seseorang sastrawan yang banyak menulis naskah drama, yaitu Racine.
            Karya Jean Racine (1639-1699) yang ditinjau oleh Goldmann adalah empat naskah drama tragedy, yaitu Andromaque, Britannicus, Berenice, dan Phedre.  Sementara untuk karya Pascal, Goldmann meninjau the Pensees. Sebagaimana pandangannya tentang dialektika pada metode strukturalisme genetinya, Goldmann memandang setiap karya sastra maupun filsafat hanyalah sebuah elemen dari keseluruhan (the whole and the parts) kelompok social tempat pengarang, sastrawan, atau filsuf menemukan ekspresi gagasannya. Goldmann menempatkan karya sastra dan filsafat sebagai fenomena yang kompleks dan berhubungan dengan ide-ide abstrak masarakatnya dan terkait dengan pandangan dunia atau visi dunia (world vision) pengarang.
            Goldmann kemudian menunjukkan posisi karya sastra dan filsafat dapat menjelaskan basis social atau masarakat. Filsafat dan sastra akan menjelaskan realitas yang sedang terjadi melalui gagasan pandangan dunia atau visi dunia filsuf dan sastrawan. Menurut Goldmaan, situasi realita social di Eropa Barat pada abad ke-17 dapat diketahui berdasarkan system gagasan filsafat dan sastra melalui karya-karya filsafat Rene Descartes (1596-1650) dan keya sastra Piere Cornelie (1606-1684), karya filsafat Blaise Pascal (1623-1662) dan karya-karya sastra Jean Racine (1639-1699) dan hubungan-hubungan karya filsafat lainnya.
            Visi yang tragis dapat ditemukan dengan jelas melalui perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan visi dalam karya-karya filsafat antara pandangan dunia rasionalisme melalui karya filsafat Descartes dengan pandangan dunia Empirisme yang direpresentasi melalui karya-karya David Hume. Demikian juga dengan munculnya karya-karya filsafat yang mengusung skeptisme seperti Montaigne dan kritisme Immanuel Kant. Karya Pascal muncul justru ketika ia membaca karya-karya rasionalis dari Descartes dan skeptimisme Montaigne; karya-karya Kant lahir ketika membaca Leibniz dan Hume. Akar fundamentalis munculnya visi tragis melalui karya-karya filsafat di Eropa Barat pada abad ke-17 dipicu oleh pertentangan rasionalisme yang bersifat aktif dan empirisme yang bersifat kreatif.







  BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ikhtiyar teorisasi sastra sudah berlangsung nyaris sama tuanya dengan riwayat kehidupan dan perkembangan sastra sendiri. Di barat, pada periode Yunani-Romawi klasik, rujukan utamnaya selalu pada teori Plato Aristoteles-Horasius. Entah kenapa, behkan jauh sebelum Aufklarung, dunia barat sudah memperlihatkan gejala kegairahan untuk berteori tentang
B.     Saran
Tak ada gading yang tak retak, seperti inilah cerminan makalah kami. Karena usaha kami dalam menyusun makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, maka dari itu, kami memohon saran dan kritik membangun agar pada penyusunan makalah yang selanjutnya kami dapat membenahi kesalahan pada makalah kami yang selanjutnya.


















DAFTAR PUSTAKA
Anwar Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Ombak. Yogyakarta.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar