Psikoanalisis dan Analisis Sastra
M. Fadlulloh Arrozaq, Abu Bakar Kawali, Khusnul Chotimah.
Abstrak: Pada abad ke-20, teori sastra dilanda perkembangan yang sangat
pesat. Berbagai teori bermunculan, baik dalam jalur strukturalisme, semiotic,
sosiologi sastra, psikoanalisis, dan yang lain. Persepektif topografis yang
dikemukakan Freud mengenai “yang taksadar” dan “prasadar” sehingga Freud
menemukan gagasan baru tentang pribadi sebagai produksi hubungan yang
mengandung konflik; Id, Ego, dan Superego. Prinsip dasar kehidupan psikis
berfungsi untuk menjaga kuantitas ketegangan psikis pada taraf serendah
mungkin. Dalam kajian keilmuan selanjutnya akan mengupas mengenai hasrat dan
fantasme, Oedipus kompleks, mimpi dan kerja mimpi, dan totem dan tabu.
Kata Kunci: Psikoanalisis, dan Analisis Sastra.
Pendahuluan
Salah
satu hasil utama psikoanalisis adalah menunujukkan bahwa disuatu pihak,
aktivitas psikis taksadar memberi makna pada mimpi, di pihak lain
“ketidaksadaran” tidak berkembang dalam
mimpi, kecuali setelah mengalami transformasi. Dalilnya yang mendasar
adalah; semua mimpi tampil sebagai pemuasan hasrat, tetapi dengan cara yang
berlainan.mimpi yang menyenangkan, transparan dan dapat diinterpretasi, tidak
disensor.
Unsur
yang sering muncul dalam mimpi tidak bersifat individual dan tidak dapat
diperoleh dari pengalaman personal si pemimpi. Unsur-unsur itu yang disebut
Freud “sisa-sisa arkais”—bentuk mental yang kehadirannya tidak dapat dijelaskan
oleh sesuatu didalam kehidupan individual sendiri dan rupanya bersifat asli,
fundamental, dan bentuk-bentuk yang merupakan warisan dalam pikiran manusia.
Dalam ketidaksadaran itu terdapat arketipe yang tampak dalam mimpi-mimpi,
mitos, produk kesenian, dan lain sebagainya. Perlu dijelaskan hubungan antara
naluri dengan arketipe. Apa yang sebetulnya kita sebut naluri adalah dorongan
fisiologis, yang ditangapi oleh indera. Namun, seklaigus meraka juga
menampakkan ddiri dalam fantasi dan sering mengungkapkan diri melalui bayangan
simbolis saja. Penampakan itu disebut arketipe. Jung menolak ketidaksadaran
pribadi, karena hal itu tidak cukup untuk menjelaskan mimpi obsesif atau mimpi
yang sangat emosional. Dalam kasus-kasus seperti itu, kita harus
mempertimbangkan kenyataan bahwa banyak unsur yang sering muncul dalam mimpi
tidak bersifat individual dan tidak dapat diperoleh dari pengalaman personal si
pemimpi.
“yang
taksadar” adalah keseluruhan isi yang taksadar dalam wilayah kesadaran yang
actual. Istilah itu mengacu pula pada suatu system yang dianggap sebagai tempat
puisi-puisi yang ada sejak lahir dan hasrat dan kenangan yang ditekan, yang
berupaya untuk kembali kedalam alam sadar dank ke dalam tindakan. Perpindahan
“yang taksadar” ke “yang sadar” diatur oleh sensor yang berusaha untuk
menghalangi isi alam taksadar yang ingin masuk ke dalam kesadaran.
Pembahasan
Menurut
Freud, peran yang sangat penting dipegang oleh “yang taksadar” karena semua
proses psikis bersumber kepada “yang taksadar”. Bila proses mencapai ambang
“yang prasadar”, dapat terjadi represi, dapat pula muncul dalam bentuknya yang
kurang lebih tersamar, yaitu gagasan, kata-kata, perasaan, dan tindakan. Tiga
system dalam kehidupan psikis; Id/Ego/Superego.
Gagasan
ini muncul untuk memperbaik pertama, yang terlalu bersifat special. Freud
mendifinisikan pribadii sebagai produksi hubungan yang mengandung konflik; Id,
Ego Superego.
·
Id adlah bentuk yang mengacu pada pengertian tentang adanya
yang impersonal dan tidak dikuasai dalam struky=tur psikis manusia. Id
merupakan sumber energi, persediaan pulsi pertama, suatu kekacuan yang bergerak
dan tidak stabil yang tidak dapat diberi definisi ilmiah terlalu ketat. Inilah
bentuk psikis yang asli dan kekanak-kanakan, tempat pulsi bawaan dari lahir dan
hasrat yang diresepsi.
·
Ego adalah instansi yang mempertahankan dan
melindungi pribadi. Ego ini kaya dengan energi intern (pulsi-pulsi Id), tetapi
juga memperhatikan realitas luar. Ego harus menekan, menyesuaikan, dan sedikit
banyak melaksanakan hubungan antara Id dengan dunia luar. Aktivitas egki
terdapat pada ketiga lapisan “yang sadar”, “yang prasadar”, dan “yang
taksadar”. Tugas ego adalah mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin
penyesuaian alam sekitar.
·
Superego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya
larangan-larangan atau perintah yang berasal dari luar (misalnya orang tua).
Hal ini diolah sedemikian rupa sehingga terpancar dari dalam. Dengan demikian,
larangan yang tadinya dianggap “asing” bagi subjek, ahirnya dianggap sebagai
berasal dari subjek sendiri. Superego merupakan dasar moral seseorang. Peranan
superego dapat dibandingkan dengan hakim. Sikap seperti observasi diri, kritik
diri, berasal dari superego.
Prinsip
konseptual merupakan serangkaian penyesuaian diri dengan kondisi yang
diwajibkan realitas luar, misalnya: kewajiban masyarakat, keluarga. Pada
umumnya, prinsip itu berkaitan dengan perkembangan fungsi kesadaran pribadi,
misalnya perhatian, ingatan. Prinsip penguatan berkaitan dengan proses
taksadar. Melalui pengalaman ini, yang diapresiasi berusaha untuk kembali pada
masa kini subjek untuk memperbarui pengalaman-pengalaman tertentu, meskipun
pengalaman itu tampak menyakitkan atau menakutkan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengalaman tidak berguna, bahwa kegagalan tidak menjelaskan alasannya, dan
bahwa hasratnya sangat kuat.
Prinsip
pengulangan berkaitan dengan proses taksadar. Melalui pengulangan ini, yang
diresepsi berusaha untuk kembali pada msa kini subjek untuk memperbarui
pengalaman-pengalaman tertentu, meskipun pengalaman itu tampak menyakitkan atau
menakutkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman tidak berguna, bahwa kegagalan
tidak menjelaskan alasannya, dan bahwa hasratnya sangat kuat.
Dialektika
antara prinsip kesenangan dan prinsip realitas tampaknya penting bagi pemahaman
pembentukan budaya. Sublimasi yang diterapkan oleh agama merupakan peniadaan
prinsip kesenangan dan prinsip kesenangan dipindahkan pada suatu hipotesis
adanya kesenangan di masa depan. Ilmu pengetahuan berkaitan dengan prinsip
realitas. Pendidikan adalah sutau upaya untuk melatih ego agar mencapai prinsip
kesenangan dengan berbagai penyesuaian dairi dalam lingkup sosial budaya. Seni
dan kesusastraan memberikan suatu wilayah persetujuan bersama. Memang, seniman
dan penulis tampaknya meninggalkan prinsip realitas, namun, dengan kreasi
kenyataan yang berupa hasil karyanya, mereka kemudian cenderung memasukkan
dalam kenyataan proyeksi fantasme yang berkaitan dengan karya seni.
Bagi
Freud, hasrat, yang berbeda dari kebutuhan, benar-benar datang dari taksadar.
Hasrat berkaitan dengan tanda kanak-kanak yang tidak dapat dirusak. Kaitannya
dengan fantasme, yaitu scenario imajiner. Di dalam scenario itu subjek tampak
melaksanakan hasratnya, fantasme dapat dibedakan dalam: pertama, mimpi siang
hari, lamunan, fiksi yang diceritakan secara betul-betul ada. kedua, lamunan
prasadar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk ke dalam wilayah kesadaran.
Ketiga, fantasme yang betul-betul taksadar yang menjadi asal pembentukan mimpi
malam hari untuk masuk ke dalam wialayah kesadaran. Keempat, fantasme yang
betul-betul taksadar yang menjadi asal pembentukan mimpi malam hari.
Oedipus
kompleks, istilah kompleks sangat penting dan sering digunakan dalam
psikonalisis. Jadi perlu kiranya dijelskan lebih dahulu.suatu kompleks adalah
keseluruhan reaksi eektif (tampilan dan kenangan) yang sebagian atau
keseluruhan taksadar. Pembentukan suatu kompleks terlaksana dari suatu hubungan
atarpribadi yang dijalin objek pada masa kanak-kanaknya, dan hal itu normal
saja, yang bersifat patologis bukanlah kompleks itu sendiri. Keadaan yang
terus-menerus berlangsung, melampai batas stadium yang ditentukan.
Oedipus
kompleks adalah “suatu keseluruhan hasrat cinta dan benci yang dirasakan anak
terhadap orang tuanya. Dalam bentuknya yang positif, kompleks ini tampil
seperti apa yang diceritakan dalam cerita Oedipus sang raja: hasrat agar
rivalnya, itu tokoh yang sejenis, mati dan hasrat seksual terhadap tokoh yang
berlainan jenis. Dalam bentuk negatifnya, hasrat itu tampil sebaliknya: cinta
terhadapa orang tua yang sejenis dan cemburu terhadap orang tua yang berlainan
jenis. kedua bentuk iu tampil dalam bentuk lengkapnya yaitu Oedipus kompleks.
Oedipus
kompleks berkaitan dengan stadium Phalus, jadi sekitar tiga sampai lima tahun.
Pada anak laki-laki, terpancang libido pada ibu betu-betulterdapat dalam logika
kehidupan afektif dan material sebelumnya, tetapi hal itu tidak berlangsung
tanpa frustasi, agresivitas karena tidak mungkin memiliki ibu secara total
(adanya bapak, saudara laki-laki, dan saudara perempuan). Agresivitas itu
membangkitakan perasaan bersalah yang dapat menimbulkan kecemasan yang dapat
dikemukakan melalui proses taksadar (mimpi, fantasme) maupun melalui tindakan
yang tidak biasa. Pada anak perempuan, pembentukan Oedipus menunujukkan bahwa
keterikatan libido pada bapak didahului oleh tahapan pemisahan diri dari ibu.
Pemisahan diri itu berkaitan dengan kesadaran tentang adanya perbedaan
seksual., si anak perempuan menyesali sang ibu karena dia tidak mempunyai
penis.
Hilangnya Oedipus kompleks ini, pada anak
laki-laki, terjadi dengan melepaskan ibunya sebagai objek hasrat seksual dan
dengan melakukan identifikasi kepada bapaknya. Tahapan yang menentukan karena
dia melepaskan apa yang ingin dimilikinya (ibu), untuk berkembang menjadi apa
yang diinginkannya (bapak)
Salah
satu hasil utama psikoanalisis adalah menunujukkan bahwa di satu pihak,
aktivitas psikis taksadar memberi makna pada mimpi, di pihak lain “ketaksadran”
tidak berkembang dalam mimpi, kecuali setelah mengalami transformasi. Daliilnya
yang mendasar adalah: semua mimpi tampil sebagai pemuasan hasrat, tetapi dengan
cara yang berlainan. Mimpi yang menyenangkan, transparan dan dapat
diinterpretasi, tidak disensor. Mimpi yang menyakitkan, absurd dan tampaknya
tidak dapat diinterpretasi, adalh sutu ekspresi adanya konflik antara Superego
dengan Id. Karena itulah, hasrat meletus dalam mimpi, meskipun ada sensor.
Mimpi-mimpi yang menakutkan berkaitan dengan sensor yang paling keras:
kecemasan yang dirasakan subjek adalah semacam hukuman terhadap hasrat yang
dirasakan dibawah sadar.
Mimpi
adalah suatu produk psikis dan arena hidup psikis adalah konflik antara
berbagai daya psikis, menurut Freud, mimpi adalah perwujudan suatu konflik.
Mimpi terjadi dalam keadaan kendur. Jadi pada saat objek sedang beristirahat
dan aktivitas-aktivitasnya –psikis maupun fisis—mencapai suatu taraf minimal.
Dalam keadaan itu resepsi menjadi kendur dan apa yang diresepsi dapat masuk
kedalam kesadaran. Analisi mimpi dapat mengartikan mimpi sebagai keinginan
taksadar yang muncul dalam kesadaran. Mimpi itu tak lain dari realisasi suatu
keinginan. Walaupun dalam keadaan tidur resepsi ego kurang ketat, itu tidak
berarti bahwa resepsi terhapus sama sekali. Namun keinginan itu mencari akal
untuk menipu sensor dengan mengubah bentuknya atau dengan menggunakan kedok.
Jadi, mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang
diresepsi.
Menurut
Freud, pada orang primitive, rasa jijik terhadap tenses menimbulkan tabu-tabu
yang ketat, terutama adalah larangan untuk membunuh binatang totem dan larangan
menikahi wanita dari klen yang sama. Pada anak yang dihinggapi fobi terhadap
binatang, kita menyaksiskan tingkah laku yang mirip dengan otomisme orang
pimitif sehingga tingkah laku anak itu dapat dianggap semacam regresi terhadap
totemisme. Dari kemiripan antara totemisme dan situasi kompleks Oedipus ini,
disimpulkan oleh Freud bahwa pembunuhan ayah harus dipandang sebagai fundamen
totemisme, dank arena itu, merupakan titik tolak lahirnya berbagai agama.
Selain
teroi Freud berikut ini, akan dikemukakan beberapa teori yang dikemukakan oleh
C. G. Jung (dipetik dari memperkenalkan Psikologi-Anlitis ( terjemahan dan
pendahuluan oleh G. Cremes\rs, 1986 da menjadi diri sendiri terjemahan dan kata
pengantar oleh G. Cremers, 1987.)
Penutup
Jung
menolak ketidaksadaran pribadi, karena hal itu tidak cukup untuk menjelaskan
mimpi obsesif atau mimpi yang sangat emosional. Dalam kasus-kasus seperti itu,
kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa banyak unsur yang sering muncul
dalam mimpi tidak bersifat individual dan tidak dapat diperoleh dari pengalaman
personal si pemimpi. Unsur-unsur itu—yang disebut Freud “sisa-sisa
arkais”—bentuk mental yang kehadirannya tidak dapat dijelaskan oleh sesuatu di
dalam kehidupan individual sendiri dan rupanya bersifat asli, fundamental, dan
bentuk-bentuk yang meruapakan warisan dalam pikiran manusia. Jadi, menurut
pendapat Jung, yang ada adalah ketidaksadaran kolektif, artinya ketidaksadaran
bersama bagi semua manusia.
Daftar Pustaka
Psikoanalisi dan sastra, Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Depok 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar