Kamis, 19 Maret 2015

Psikoanalisis dan analisis sastra



Psikoanalisis dan Analisis Sastra
M. Fadlulloh Arrozaq, Abu Bakar Kawali, Khusnul Chotimah.
Abstrak: Pada abad ke-20, teori sastra dilanda perkembangan yang sangat pesat. Berbagai teori bermunculan, baik dalam jalur strukturalisme, semiotic, sosiologi sastra, psikoanalisis, dan yang lain. Persepektif topografis yang dikemukakan Freud mengenai “yang taksadar” dan “prasadar” sehingga Freud menemukan gagasan baru tentang pribadi sebagai produksi hubungan yang mengandung konflik; Id, Ego, dan Superego. Prinsip dasar kehidupan psikis berfungsi untuk menjaga kuantitas ketegangan psikis pada taraf serendah mungkin. Dalam kajian keilmuan selanjutnya akan mengupas mengenai hasrat dan fantasme, Oedipus kompleks, mimpi dan kerja mimpi, dan totem dan tabu.
Kata Kunci: Psikoanalisis, dan Analisis Sastra.
Pendahuluan
            Salah satu hasil utama psikoanalisis adalah menunujukkan bahwa disuatu pihak, aktivitas psikis taksadar memberi makna pada mimpi, di pihak lain “ketidaksadaran” tidak berkembang dalam  mimpi, kecuali setelah mengalami transformasi. Dalilnya yang mendasar adalah; semua mimpi tampil sebagai pemuasan hasrat, tetapi dengan cara yang berlainan.mimpi yang menyenangkan, transparan dan dapat diinterpretasi, tidak disensor.
            Unsur yang sering muncul dalam mimpi tidak bersifat individual dan tidak dapat diperoleh dari pengalaman personal si pemimpi. Unsur-unsur itu yang disebut Freud “sisa-sisa arkais”—bentuk mental yang kehadirannya tidak dapat dijelaskan oleh sesuatu didalam kehidupan individual sendiri dan rupanya bersifat asli, fundamental, dan bentuk-bentuk yang merupakan warisan dalam pikiran manusia. Dalam ketidaksadaran itu terdapat arketipe yang tampak dalam mimpi-mimpi, mitos, produk kesenian, dan lain sebagainya. Perlu dijelaskan hubungan antara naluri dengan arketipe. Apa yang sebetulnya kita sebut naluri adalah dorongan fisiologis, yang ditangapi oleh indera. Namun, seklaigus meraka juga menampakkan ddiri dalam fantasi dan sering mengungkapkan diri melalui bayangan simbolis saja. Penampakan itu disebut arketipe. Jung menolak ketidaksadaran pribadi, karena hal itu tidak cukup untuk menjelaskan mimpi obsesif atau mimpi yang sangat emosional. Dalam kasus-kasus seperti itu, kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa banyak unsur yang sering muncul dalam mimpi tidak bersifat individual dan tidak dapat diperoleh dari pengalaman personal si pemimpi.
            “yang taksadar” adalah keseluruhan isi yang taksadar dalam wilayah kesadaran yang actual. Istilah itu mengacu pula pada suatu system yang dianggap sebagai tempat puisi-puisi yang ada sejak lahir dan hasrat dan kenangan yang ditekan, yang berupaya untuk kembali kedalam alam sadar dank ke dalam tindakan. Perpindahan “yang taksadar” ke “yang sadar” diatur oleh sensor yang berusaha untuk menghalangi isi alam taksadar yang ingin masuk ke dalam kesadaran.


Pembahasan
Menurut Freud, peran yang sangat penting dipegang oleh “yang taksadar” karena semua proses psikis bersumber kepada “yang taksadar”. Bila proses mencapai ambang “yang prasadar”, dapat terjadi represi, dapat pula muncul dalam bentuknya yang kurang lebih tersamar, yaitu gagasan, kata-kata, perasaan, dan tindakan. Tiga system dalam kehidupan psikis; Id/Ego/Superego.
Gagasan ini muncul untuk memperbaik pertama, yang terlalu bersifat special. Freud mendifinisikan pribadii sebagai produksi hubungan yang mengandung konflik; Id, Ego Superego.
·         Id adlah bentuk yang mengacu pada pengertian tentang adanya yang impersonal dan tidak dikuasai dalam struky=tur psikis manusia. Id merupakan sumber energi, persediaan pulsi pertama, suatu kekacuan yang bergerak dan tidak stabil yang tidak dapat diberi definisi ilmiah terlalu ketat. Inilah bentuk psikis yang asli dan kekanak-kanakan, tempat pulsi bawaan dari lahir dan hasrat yang diresepsi.
·         Ego adalah instansi yang mempertahankan dan melindungi pribadi. Ego ini kaya dengan energi intern (pulsi-pulsi Id), tetapi juga memperhatikan realitas luar. Ego harus menekan, menyesuaikan, dan sedikit banyak melaksanakan hubungan antara Id dengan dunia luar. Aktivitas egki terdapat pada ketiga lapisan “yang sadar”, “yang prasadar”, dan “yang taksadar”. Tugas ego adalah mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian alam sekitar.
·         Superego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah yang berasal dari luar (misalnya orang tua). Hal ini diolah sedemikian rupa sehingga terpancar dari dalam. Dengan demikian, larangan yang tadinya dianggap “asing” bagi subjek, ahirnya dianggap sebagai berasal dari subjek sendiri. Superego merupakan dasar moral seseorang. Peranan superego dapat dibandingkan dengan hakim. Sikap seperti observasi diri, kritik diri, berasal dari superego.

Prinsip konseptual merupakan serangkaian penyesuaian diri dengan kondisi yang diwajibkan realitas luar, misalnya: kewajiban masyarakat, keluarga. Pada umumnya, prinsip itu berkaitan dengan perkembangan fungsi kesadaran pribadi, misalnya perhatian, ingatan. Prinsip penguatan berkaitan dengan proses taksadar. Melalui pengalaman ini, yang diapresiasi berusaha untuk kembali pada masa kini subjek untuk memperbarui pengalaman-pengalaman tertentu, meskipun pengalaman itu tampak menyakitkan atau menakutkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman tidak berguna, bahwa kegagalan tidak menjelaskan alasannya, dan bahwa hasratnya sangat kuat.
Prinsip pengulangan berkaitan dengan proses taksadar. Melalui pengulangan ini, yang diresepsi berusaha untuk kembali pada msa kini subjek untuk memperbarui pengalaman-pengalaman tertentu, meskipun pengalaman itu tampak menyakitkan atau menakutkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman tidak berguna, bahwa kegagalan tidak menjelaskan alasannya, dan bahwa hasratnya sangat kuat.
            Dialektika antara prinsip kesenangan dan prinsip realitas tampaknya penting bagi pemahaman pembentukan budaya. Sublimasi yang diterapkan oleh agama merupakan peniadaan prinsip kesenangan dan prinsip kesenangan dipindahkan pada suatu hipotesis adanya kesenangan di masa depan. Ilmu pengetahuan berkaitan dengan prinsip realitas. Pendidikan adalah sutau upaya untuk melatih ego agar mencapai prinsip kesenangan dengan berbagai penyesuaian dairi dalam lingkup sosial budaya. Seni dan kesusastraan memberikan suatu wilayah persetujuan bersama. Memang, seniman dan penulis tampaknya meninggalkan prinsip realitas, namun, dengan kreasi kenyataan yang berupa hasil karyanya, mereka kemudian cenderung memasukkan dalam kenyataan proyeksi fantasme yang berkaitan dengan karya seni.
            Bagi Freud, hasrat, yang berbeda dari kebutuhan, benar-benar datang dari taksadar. Hasrat berkaitan dengan tanda kanak-kanak yang tidak dapat dirusak. Kaitannya dengan fantasme, yaitu scenario imajiner. Di dalam scenario itu subjek tampak melaksanakan hasratnya, fantasme dapat dibedakan dalam: pertama, mimpi siang hari, lamunan, fiksi yang diceritakan secara betul-betul ada. kedua, lamunan prasadar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk ke dalam wilayah kesadaran. Ketiga, fantasme yang betul-betul taksadar yang menjadi asal pembentukan mimpi malam hari untuk masuk ke dalam wialayah kesadaran. Keempat, fantasme yang betul-betul taksadar yang menjadi asal pembentukan mimpi malam hari.
            Oedipus kompleks, istilah kompleks sangat penting dan sering digunakan dalam psikonalisis. Jadi perlu kiranya dijelskan lebih dahulu.suatu kompleks adalah keseluruhan reaksi eektif (tampilan dan kenangan) yang sebagian atau keseluruhan taksadar. Pembentukan suatu kompleks terlaksana dari suatu hubungan atarpribadi yang dijalin objek pada masa kanak-kanaknya, dan hal itu normal saja, yang bersifat patologis bukanlah kompleks itu sendiri. Keadaan yang terus-menerus berlangsung, melampai batas stadium yang ditentukan.
            Oedipus kompleks adalah “suatu keseluruhan hasrat cinta dan benci yang dirasakan anak terhadap orang tuanya. Dalam bentuknya yang positif, kompleks ini tampil seperti apa yang diceritakan dalam cerita Oedipus sang raja: hasrat agar rivalnya, itu tokoh yang sejenis, mati dan hasrat seksual terhadap tokoh yang berlainan jenis. Dalam bentuk negatifnya, hasrat itu tampil sebaliknya: cinta terhadapa orang tua yang sejenis dan cemburu terhadap orang tua yang berlainan jenis. kedua bentuk iu tampil dalam bentuk lengkapnya yaitu Oedipus kompleks.
            Oedipus kompleks berkaitan dengan stadium Phalus, jadi sekitar tiga sampai lima tahun. Pada anak laki-laki, terpancang libido pada ibu betu-betulterdapat dalam logika kehidupan afektif dan material sebelumnya, tetapi hal itu tidak berlangsung tanpa frustasi, agresivitas karena tidak mungkin memiliki ibu secara total (adanya bapak, saudara laki-laki, dan saudara perempuan). Agresivitas itu membangkitakan perasaan bersalah yang dapat menimbulkan kecemasan yang dapat dikemukakan melalui proses taksadar (mimpi, fantasme) maupun melalui tindakan yang tidak biasa. Pada anak perempuan, pembentukan Oedipus menunujukkan bahwa keterikatan libido pada bapak didahului oleh tahapan pemisahan diri dari ibu. Pemisahan diri itu berkaitan dengan kesadaran tentang adanya perbedaan seksual., si anak perempuan menyesali sang ibu karena dia tidak mempunyai penis.
             Hilangnya Oedipus kompleks ini, pada anak laki-laki, terjadi dengan melepaskan ibunya sebagai objek hasrat seksual dan dengan melakukan identifikasi kepada bapaknya. Tahapan yang menentukan karena dia melepaskan apa yang ingin dimilikinya (ibu), untuk berkembang menjadi apa yang diinginkannya (bapak)
            Salah satu hasil utama psikoanalisis adalah menunujukkan bahwa di satu pihak, aktivitas psikis taksadar memberi makna pada mimpi, di pihak lain “ketaksadran” tidak berkembang dalam mimpi, kecuali setelah mengalami transformasi. Daliilnya yang mendasar adalah: semua mimpi tampil sebagai pemuasan hasrat, tetapi dengan cara yang berlainan. Mimpi yang menyenangkan, transparan dan dapat diinterpretasi, tidak disensor. Mimpi yang menyakitkan, absurd dan tampaknya tidak dapat diinterpretasi, adalh sutu ekspresi adanya konflik antara Superego dengan Id. Karena itulah, hasrat meletus dalam mimpi, meskipun ada sensor. Mimpi-mimpi yang menakutkan berkaitan dengan sensor yang paling keras: kecemasan yang dirasakan subjek adalah semacam hukuman terhadap hasrat yang dirasakan dibawah sadar.
            Mimpi adalah suatu produk psikis dan arena hidup psikis adalah konflik antara berbagai daya psikis, menurut Freud, mimpi adalah perwujudan suatu konflik. Mimpi terjadi dalam keadaan kendur. Jadi pada saat objek sedang beristirahat dan aktivitas-aktivitasnya –psikis maupun fisis—mencapai suatu taraf minimal. Dalam keadaan itu resepsi menjadi kendur dan apa yang diresepsi dapat masuk kedalam kesadaran. Analisi mimpi dapat mengartikan mimpi sebagai keinginan taksadar yang muncul dalam kesadaran. Mimpi itu tak lain dari realisasi suatu keinginan. Walaupun dalam keadaan tidur resepsi ego kurang ketat, itu tidak berarti bahwa resepsi terhapus sama sekali. Namun keinginan itu mencari akal untuk menipu sensor dengan mengubah bentuknya atau dengan menggunakan kedok. Jadi, mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang diresepsi.
            Menurut Freud, pada orang primitive, rasa jijik terhadap tenses menimbulkan tabu-tabu yang ketat, terutama adalah larangan untuk membunuh binatang totem dan larangan menikahi wanita dari klen yang sama. Pada anak yang dihinggapi fobi terhadap binatang, kita menyaksiskan tingkah laku yang mirip dengan otomisme orang pimitif sehingga tingkah laku anak itu dapat dianggap semacam regresi terhadap totemisme. Dari kemiripan antara totemisme dan situasi kompleks Oedipus ini, disimpulkan oleh Freud bahwa pembunuhan ayah harus dipandang sebagai fundamen totemisme, dank arena itu, merupakan titik tolak lahirnya berbagai agama.
            Selain teroi Freud berikut ini, akan dikemukakan beberapa teori yang dikemukakan oleh C. G. Jung (dipetik dari memperkenalkan Psikologi-Anlitis ( terjemahan dan pendahuluan oleh G. Cremes\rs, 1986 da menjadi diri sendiri terjemahan dan kata pengantar oleh G. Cremers, 1987.)
Penutup
            Jung menolak ketidaksadaran pribadi, karena hal itu tidak cukup untuk menjelaskan mimpi obsesif atau mimpi yang sangat emosional. Dalam kasus-kasus seperti itu, kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa banyak unsur yang sering muncul dalam mimpi tidak bersifat individual dan tidak dapat diperoleh dari pengalaman personal si pemimpi. Unsur-unsur itu—yang disebut Freud “sisa-sisa arkais”—bentuk mental yang kehadirannya tidak dapat dijelaskan oleh sesuatu di dalam kehidupan individual sendiri dan rupanya bersifat asli, fundamental, dan bentuk-bentuk yang meruapakan warisan dalam pikiran manusia. Jadi, menurut pendapat Jung, yang ada adalah ketidaksadaran kolektif, artinya ketidaksadaran bersama bagi semua manusia.
Daftar Pustaka
 Psikoanalisi dan sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Depok 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar